Kasus kebakaran hutan yang terjadi di Riau pada
bulan juli 2013 lalu yang di beritakan beberapa media masa international
termasuk New York Times dan The Guardian menuai respon dari beberapa
kalangan. Kasus kebakaran hutan di Riau yang selalu terjadi setiap tahun hingga
kini belum menemukan solusi yang tepat untuk mengatasinya, dilansir dari
majalah TEMPO edisi 1-7 Juli 2013 Greenpeace
melaporkan sejak awal juni hingga pertengahan juni tercatat ada 1.210 titik
api. Dibandingkan dengan kasus-kasus kebakaran hutan yang terjadi pertama kali pada
tahun 1990 hingga kasus yang terparah pada tahun 1997, belum pernah ada dampak
pencemaran udara separah tahun 2013 lalu. Greenpeace
menuding jika kebakaran hutan di Riau dilakukan oleh beberapa perusahaan sawit
malaysia. Asap tebal hasil kebaran hutan di Riau pun terbawa angin hingga ke
negara Singapura dan Malaysia.
Diberitakan TEMPO penanganan baru berjalan cepat
setelah pemerintah Singapura dan Malaysia yang diwakili oleh Perdana Menterinya
Lee Hsieng Loong dan Najib Tun Rajak melakukan
protes terhadap pemerintah Indonesia. Pemerintah pun menetapkan kasus kebakaran
hutan riau ini sebagai bencana nasional dan pemerintah pusat mulai terlibat
dalam penanggulangannya.
Kasus kebakaran hutan ini semakin banyak diberitakan
media masa nasional maupun asing karena parahnya pencemaran udara yang terjadi
hingga menutupi wilayah Singapura dan sebagian Malaysia. melalui BBC singapura memberitakan
bahwa Menteri Singapura memberikan respon atas pencemaran udara yang terjadi
akibat pembakaran lahan gambut di Riau dan sekitarnya. Selanjutnya, melalui
berita online Bloomberg.com Malaysia mengumumkan keadaan darurat di beberapa
daerah setelah polusi udara dari pembakaran hutan secara liar lahan gambut di
Indonesia mencapai tingkat yang berbahaya karena indeks polusi udara (API)
mencapai 750. Polusi udara dianggap berbahaya bagi manusia jika melebihi angka
100, di malaka polusi udara tercatat 364, sedangkan bukit rambai 357.
Majalah TEMPO edisi 1-7 Juli 2013 memuat berita jika
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi memberikan keterangan pers di
Istana Negara meminta maaf kepada Negara Singapura dan Malaysia atas kebakaran
hutan yang terjadi di Riau dan bencana asap yang ditimbulkan sehingga membuat polusi
udara di kedua negara tersebut.
Namun, permintaan maaf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
kepada Malaysia
dan Singapura terkait dengan kabut asap tersebut menuai perbincangan, setelah menuai kritik
dari dalam negeri maupun sindiran dari elit di Malaysia. Respon mencengangkan
atas permintaan maaf ini disampaikan misalnya oleh DR
Anwar Ibrahim. Meski awalnya Anwar terlihat respek
dengan pernyataan SBY namun ujung-ujungnya juga menyampaikan kritik pedas. Bagi
Anwar, dan juga warga Malaysia, adalah yang terpenting bukan minta maaf tapi
tindakan nyata agar kasus serupa tak berulang setiap tahun.
Di dalam negeri sendiri, ternyata
banyak di antara menteri yang tidak tahu bahwa Kepala Negara akan menyampaikan permintaan
maaf secara resmi kepada Singapura dan Malaysia. Hal ini terlihat juga dari
beberapa pernyataan menteri yang normatif seolah menutup-nutupi jika
mereka tidak tahu persoalan tersebut. Bahkan tokoh sekelas Jusuf Kalla pun
mengatakan bahwa semestinya Malaysia dan Singapura berterimakasih kepada Indonesia
karena telah menghirup oksigen gratis dari Indonesia selama 11 bulan
sebelumnya, dari pada menghirup asap yang cuma sebulan.
Beberapa kalangan politisi juga berpendapat bahwa
tidak seharusnya Presiden meminta maaf kepada Singapura dan Malaysia, Apalagi
penyebab kebakaran hutan yang terjadi di Riau merupakan ulah dari beberapa
perusahaan kelapa sawit yang diduga melibatkan perusahaan milik Malaysia dan Singapura, sehingga cukup pada level menteri teknis terkait
saja yang seharusnya memberikan pernyataan seperti itu.
No comments:
Post a Comment