5/10/14

CNN EFFECT : KASUS KEBAKARAN HUTAN DI RIAU




Kasus kebakaran hutan yang terjadi di Riau pada bulan juli 2013 lalu yang di beritakan beberapa media masa international termasuk New York Times dan The Guardian menuai respon dari beberapa kalangan. Kasus kebakaran hutan di Riau yang selalu terjadi setiap tahun hingga kini belum menemukan solusi yang tepat untuk mengatasinya, dilansir dari majalah TEMPO edisi 1-7 Juli 2013 Greenpeace melaporkan sejak awal juni hingga pertengahan juni tercatat ada 1.210 titik api. Dibandingkan dengan kasus-kasus kebakaran hutan yang terjadi pertama kali pada tahun 1990 hingga kasus yang terparah pada tahun 1997, belum pernah ada dampak pencemaran udara separah tahun 2013 lalu. Greenpeace menuding jika kebakaran hutan di Riau dilakukan oleh beberapa perusahaan sawit malaysia. Asap tebal hasil kebaran hutan di Riau pun terbawa angin hingga ke negara Singapura dan Malaysia.
Diberitakan TEMPO penanganan baru berjalan cepat setelah pemerintah Singapura dan Malaysia yang diwakili oleh Perdana Menterinya Lee Hsieng Loong dan Najib Tun Rajak melakukan protes terhadap pemerintah Indonesia. Pemerintah pun menetapkan kasus kebakaran hutan riau ini sebagai bencana nasional dan pemerintah pusat mulai terlibat dalam penanggulangannya.
Kasus kebakaran hutan ini semakin banyak diberitakan media masa nasional maupun asing karena parahnya pencemaran udara yang terjadi hingga menutupi wilayah Singapura dan sebagian Malaysia. melalui BBC singapura memberitakan bahwa Menteri Singapura memberikan respon atas pencemaran udara yang terjadi akibat pembakaran lahan gambut di Riau dan sekitarnya. Selanjutnya, melalui berita online Bloomberg.com Malaysia mengumumkan keadaan darurat di beberapa daerah setelah polusi udara dari pembakaran hutan secara liar lahan gambut di Indonesia mencapai tingkat yang berbahaya karena indeks polusi udara (API) mencapai 750. Polusi udara dianggap berbahaya bagi manusia jika melebihi angka 100, di malaka polusi udara tercatat 364, sedangkan bukit rambai 357.
Majalah TEMPO edisi 1-7 Juli 2013 memuat berita jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi memberikan keterangan pers di Istana Negara meminta maaf kepada Negara Singapura dan Malaysia atas kebakaran hutan yang terjadi di Riau dan bencana asap yang ditimbulkan sehingga membuat polusi udara di kedua negara tersebut.

Namun, permintaan maaf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  kepada Malaysia dan Singapura terkait dengan kabut asap tersebut  menuai perbincangan, setelah menuai kritik dari dalam negeri maupun sindiran dari elit di Malaysia. Respon mencengangkan atas permintaan maaf ini disampaikan misalnya oleh DR Anwar Ibrahim. Meski awalnya Anwar terlihat respek dengan pernyataan SBY namun ujung-ujungnya juga menyampaikan kritik pedas. Bagi Anwar, dan juga warga Malaysia, adalah yang terpenting bukan minta maaf tapi tindakan nyata agar kasus serupa tak berulang setiap tahun.
Di dalam negeri sendiri, ternyata banyak di antara menteri yang tidak tahu bahwa Kepala Negara akan menyampaikan permintaan maaf secara resmi kepada Singapura dan Malaysia. Hal ini terlihat juga dari beberapa pernyataan menteri  yang normatif seolah menutup-nutupi jika mereka tidak tahu persoalan tersebut. Bahkan tokoh sekelas Jusuf Kalla pun mengatakan bahwa semestinya Malaysia dan Singapura berterimakasih kepada Indonesia karena telah menghirup oksigen gratis dari Indonesia selama 11 bulan sebelumnya, dari pada menghirup asap yang cuma sebulan.
Beberapa kalangan politisi juga berpendapat bahwa tidak seharusnya Presiden meminta maaf kepada Singapura dan Malaysia, Apalagi penyebab kebakaran hutan yang terjadi di Riau merupakan ulah dari beberapa perusahaan kelapa sawit yang diduga melibatkan perusahaan milik Malaysia dan Singapura, sehingga cukup pada level menteri teknis terkait saja yang seharusnya memberikan pernyataan seperti itu.

No comments:

Post a Comment