5/10/14

Analisis Kebijakan Luar Negeri RRC Terhadap Laut China Selatan Menggunakan Pendekatan Realis

                                   Sumber Foto : https://roda2blog.files.wordpress.com/2014/06/china_conflict.jpg


Konflik laut china selatan yang hingga kini tak kunjung usai antara 4 negara anggota ASEAN dan China selalu menjadi isu utama keamanan yang dibahas antar negara-negara anggota ASEAN. Benturan kepentingan antara negara-negara kawasan ASEAN dengan RRC dalam perebutan wilayah laut China Selatan sangat rentan sekali melibatkan militer masing-masing negara, belum lagi campur tangan negara super power Amerika Serikat dalam kasus ini mengakibatkan konflik ini semakin memanas karena AS mempunyai kepentingan ekonomi, politik dan militer di laut china selatan. Maka tidak dapat dipungkiri jika konflik ini semakin meluas dan menjadi konflik terbuka menggunakan kekuatan militer. Karena saat ini, jika kita melihat di tataran Global AS dan RRC selalu bersaing dalam aspek ekonomi maupun militer yang notabene kedua negara ini sangat berbenturan ideologi.
Laut china selatan memang merupakan kawasan yang strategis dimana dapat memberikan pengaruh baik langsung maupun tak langsung terhadap kepentingan kawasan dan AS, negara-negara anggota ASEAN maupun RRC. Laut China Selatan secara geografis berada ditengah-tengah antara China dan negara-negara ASEAN dimana kawasan ini sangat strategis karena merupakan jalur pelayaran perdagangan dan jalur komunikasi internasional yang menghubungkan samudra Hindia dan Samudra Pasifik [1].
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menganalisis politik luar negeri china terhadap laut china selatan menggunakan pendekatan realisme dimana dalam pendekatan ini mempunyai tiga asumsi dasar yakni Gruopism, Egoism, dan Power-Centrism. Groupism, tentang aliansi suatu negara untuk membentuk sebuah balance of power, negara yang bersifat Egoism karena negara mengutamakan kepentingan domestiknya dari pada kepentingan internasional, dan yang ketiga Power-centrism yang memandang sebuah Power itu hanya terpusat pada negara-negara hegemon saja.
Di asumsi dasar realis yang pertama (Groupism) penulis tidak menemukan china melakukan aliansi dengan negara lain untuk memperbesar balance of power karena jika dilihat dari segi militer china pun sudah sangat mumpuni bahkan lebih besar dari negara-negara anggota ASEAN yang terlibat sengketa laut china selatan. Asumsi dasar groupism penulis temukan pada negara-negara anggota ASEAN (Brunei, Filipina, Malaysia, Vietnam) dan taiwan yang mencoba melakukan aliansi untuk melawan kekuatan china dengan menggandeng Amerika Serikat, disamping memang AS memiliki kepentingan militer, ekonomi, dan politik di wilayah laut china selatan
Asumsi dasar yang kedua, Egoism dapat dilihat dari bersikukuhnya China ingin memiliki laut china selatan seutuhnya karena berniat memperbesar kepentingan nasionalnya, laut china selatan memiliki kawasan yang sangat startegis dalam perdagangan maupun sumber daya alam yakni minyak bumi dan gas alam. Untuk mengakomodasi kepentingan nasional seutuhnya tidak heran jika china mengerahkan militernya, bahkan hingga mengirim kapal induk militer yang kemudian di letakkan di perairan laut china selatan. Jika China sepenuhnya memiliki laut china selatan maka dapat dengan mudah memanfaatkan kawasan ini sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi, politik dan keamanan, Tidak mustahil jika sewaktu-waktu china bisa melengserkan AS dari predikatnya menjadi negara super power. China memiliki kekuatan militer yang besar sebagai benteng pertahanan nasional, selain itu dengan kapabilitas militer yang dimilikinya China dapat menimbulkan security dilemma bagi negara-negara di Asia Timur dan termasuk ASEAN tentunya.
Jika dilihat dari kacamata realis alasan China meningkatkan kekuatan militernya karena China sebagai negara komunis merasa cemas akan keselamatan dalam mengakomodasi kepentingan nasionalnya dalam hubungan persaingan dengan negara-negara lainnya terutama AS. China menganggap dengan semakin kuatnya kekuatan militer secara otomatis akan ditakuti oleh negara-negara lain dan akan memperbesar peluang untuk kepentingan nasionalnya dapat tercapai, hal ini nampak ketika dalam kasus sengketa laut china selatan china mengirim kapal induk miliknya di kawasan laut china selatan. China sebagai negara komunis berusaha agar bagaimanapun caranya akan terus memperbesar power walau sekalipun AS terlibat dalam kasus sengketa ini, karena dalam militer pun China sangat berkembang pesat dan bersaing dengan AS. maka dari itu China tidak gentar untuk melawan keempat Negara anggota ASEAN karena dalam militerpun China jauh lebih kuat jika dibandingkan militer gabungan dari keempat negara anggota ASEAN [2]. Dalam pandangan realisme negara China akan terus memperjuangkan kepentingan nasionalnya agar China dapat tetap Survive sebagai negara komunis yang memiliki kekuatan besar dan akan terus memperbesar power selama barang-barang China masih beredar luas di pasaran global.
China terlihat sangat cemas sekali jika keamanan negaranya terganggu, terlihat ketika pesawat pengintai dan kapal militer milik AS masuk Zona Ekonomi Eksklusif milik China, dengan cepat china langsung melakukan counter dengan mengusir ataupun memotong penerbangan militer AS yang berada perbatasan China. Hal ini menunjukkan bahwa China sangat siap menjaga keamanan nasionalnya dari militer asing apapun alasan mereka berada di kawasan China termasuk Zona Ekonomi Eksklusif milik China untuk melindungi rakyatnya dari ancaman luar. Namun, disisi lain kecemasan china ini membuktikan bahwa china adalah negara yang serakah dimana sangat takut sekali jika keuntungannya di ambil alih oleh negara.
Dalam pandangan power centrism sangat nampak jelas china lah yang mempunyai power terbesar dalam konflik laut china selatan dengan 4 negara anggota ASEAN (Filipina, Vietnam, malaysia, Brunei) dan juga taiwan.  Dilihat dari kekuatan militernya saja china sudah memiliki kartu emas untuk memenangkan sengketa ini ketika nantinya konflik ini pecah menjadi perang militer. Larangan China atas operasi kapal militer AS di ZEE China membuktikan bahwa sistem internasional yang dalam hal ini PBB dianggap tidak memiliki peran penting dan china lah yang memiliki power centrism terkuat, walaupun dalam kasus ini AS mengklaim larangan China itu tidak berdasar karena dalam United Nations Convention on the Law of the Sea  (UNCOS) aturan tentang operasi kapal militer di kawasan ZEE tidak diatur. China melihat AS sebagai pelanggar kedaulatan yang masuk tanpa izin ke dalam negaranya dengan mengoperasikan kapal dan pesawat militer di wilayah China tanpa mempunyai alasan yang jelas, maka dari itu china berhak melarang dan juga menangkap militer-militer AS. Kegagalan menegakkan hukum dan norma-norma internasional PBB dapat membahayakan kepentingan AS di wilayah-wilayah lain. Dalam perspektif realis, China menganggap semua negara itu sama dan memandang kondisi sistem internasional itu bersifat anarki karena setiap negara berhak mengatur kedaulatannya masing-masing tanpa campur tangan organisasi internasional dan hanya negara-negara hegemon saja yang memiliki power terutama china. Selain itu, China memainkan peran utama yang memainkan power nya sebagai aktor dalam kasus ZEE ini tanpa menghiraukan PBB sebagai suprastate dalam sistem internasional yang telah memiliki aturan-aturan hukum tentang wilayah laut dan perairan.
China merupakan sebuah negara yang  unitary actor dan rasional yang haus akan power. Maka dari itu china berusaha untuk memperbesar powernya dengan jalan meningkatkan kapabilitas militer melalui penambahan alat-alat militer dan juga menambah tenaga militer merka. Disamping itu untuk mengakomodasi kepentingan politik dan ekonomi nasional, china memperbesarnya dengan cara mengambil alih wilayah laut china selatan sepenuhnya yang hingga ini masih menjadi konflik. Hal ini sesuai dengan pandangan realis tentang negara adalah egois yang mementingkan kepentingan nasionalnya agar dapat terakomodasi sepenuhnya dan power dimiliki oleh negara-negara hegemon dimana kekuatan ini digunakan untuk memperbesar kepentingannya. Namun realisme gagal menjelaskan mengenai groupism bahwa dengan beraliansi negara dapat membentuk sebuah balance of power, karena china tanpa menjalin aliansi dengan negara lain dapat melawan negara-negara anggota ASEAN yang beraliansi. China lebih memiliki power  besar dibandingkan lima negara lawan yang beraliansi hingga balance of power yang ada tidak seimbang.






DAFTAR PUSTAKA
·      Suharna, Karmin kolonel. “Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan Dampaknya Bagi Ketahanan Nasional”. Majalah Komunikasi & Informasi Tannas  edisi 94, 2012
·      Jackson, Robert & George Sorenson. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta : Pustaka pelajar.
·      Glaser, Bonnie S. 2012. Armed Clash in the South China Sea, http://www.cfr.org/world/armed-clash-south-china-sea/p27883. (diakses  4 Januari 2014)
  • Rosalinda, Heny. 2013. “Foreign Policy Analysis in Theories”. Materi presentasi disajikan dalam mata kuliah Analisis Politik Luar Negeri, Universitas Brawijaya, Malang, 4 Januari 2014.


[1] Suharna, Karmin kolonel. “Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan Dampaknya Bagi Ketahanan Nasional”. Majalah Komunikasi & Informasi TanNas  edisi 94, 2012, Hlm. 33-34
[2] Suharna, Karmin kolonel. “Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan Dampaknya Bagi Ketahanan Nasional”. Majalah Komunikasi & Informasi TanNas  edisi 94, 2012, Hlm. 38

No comments:

Post a Comment