Konflik laut china selatan yang hingga kini tak kunjung usai antara 4 negara anggota ASEAN dan China selalu menjadi isu utama keamanan yang dibahas antar negara-negara anggota ASEAN. Benturan kepentingan antara negara-negara kawasan ASEAN dengan RRC dalam perebutan wilayah laut China Selatan sangat rentan sekali melibatkan militer masing-masing negara, belum lagi campur tangan negara super power Amerika Serikat dalam kasus ini mengakibatkan konflik ini semakin memanas karena AS mempunyai kepentingan ekonomi, politik dan militer di laut china selatan. Maka tidak dapat dipungkiri jika konflik ini semakin meluas dan menjadi konflik terbuka menggunakan kekuatan militer. Karena saat ini, jika kita melihat di tataran Global AS dan RRC selalu bersaing dalam aspek ekonomi maupun militer yang notabene kedua negara ini sangat berbenturan ideologi.
Laut china selatan memang merupakan kawasan
yang strategis dimana dapat memberikan pengaruh baik langsung maupun tak
langsung terhadap kepentingan kawasan dan AS, negara-negara anggota ASEAN
maupun RRC. Laut China Selatan secara geografis berada ditengah-tengah antara
China dan negara-negara ASEAN dimana kawasan ini sangat strategis karena
merupakan jalur pelayaran perdagangan dan jalur komunikasi internasional yang
menghubungkan samudra Hindia dan Samudra Pasifik [1].
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba
menganalisis politik luar negeri china terhadap laut china selatan menggunakan
pendekatan realisme dimana dalam pendekatan ini mempunyai tiga asumsi dasar
yakni Gruopism, Egoism, dan
Power-Centrism. Groupism, tentang aliansi suatu negara untuk membentuk sebuah balance of power, negara yang bersifat Egoism karena negara mengutamakan
kepentingan domestiknya dari pada kepentingan internasional, dan yang ketiga Power-centrism yang memandang sebuah Power itu hanya terpusat pada
negara-negara hegemon saja.
Di
asumsi dasar realis yang pertama (Groupism)
penulis tidak menemukan china melakukan aliansi dengan negara lain untuk
memperbesar balance of power karena
jika dilihat dari segi militer china pun sudah sangat mumpuni bahkan lebih
besar dari negara-negara anggota ASEAN yang terlibat sengketa laut china
selatan. Asumsi dasar groupism penulis
temukan pada negara-negara anggota ASEAN (Brunei, Filipina, Malaysia, Vietnam)
dan taiwan yang mencoba melakukan aliansi untuk melawan kekuatan china dengan
menggandeng Amerika Serikat, disamping memang AS memiliki kepentingan militer,
ekonomi, dan politik di wilayah laut china selatan
Asumsi dasar yang kedua, Egoism dapat dilihat dari bersikukuhnya
China ingin memiliki laut china selatan seutuhnya karena berniat memperbesar
kepentingan nasionalnya, laut china selatan memiliki kawasan yang sangat
startegis dalam perdagangan maupun sumber daya alam yakni minyak bumi dan gas
alam. Untuk mengakomodasi kepentingan nasional seutuhnya tidak heran jika china
mengerahkan militernya, bahkan hingga mengirim kapal induk militer yang
kemudian di letakkan di perairan laut china selatan. Jika China sepenuhnya
memiliki laut china selatan maka dapat dengan mudah memanfaatkan kawasan ini
sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi, politik dan keamanan, Tidak
mustahil jika sewaktu-waktu china bisa melengserkan AS dari predikatnya menjadi
negara super power. China memiliki
kekuatan militer yang besar sebagai benteng pertahanan nasional, selain itu
dengan kapabilitas militer yang dimilikinya China dapat menimbulkan security dilemma bagi negara-negara di
Asia Timur dan termasuk ASEAN tentunya.
Jika dilihat dari kacamata realis alasan
China meningkatkan kekuatan militernya karena China sebagai negara komunis
merasa cemas akan keselamatan dalam mengakomodasi kepentingan nasionalnya dalam
hubungan persaingan dengan negara-negara lainnya terutama AS. China menganggap
dengan semakin kuatnya kekuatan militer secara otomatis akan ditakuti oleh
negara-negara lain dan akan memperbesar peluang untuk kepentingan nasionalnya dapat
tercapai, hal ini nampak ketika dalam kasus sengketa laut china selatan china
mengirim kapal induk miliknya di kawasan laut china selatan. China sebagai
negara komunis berusaha agar bagaimanapun caranya akan terus memperbesar power walau sekalipun AS terlibat dalam
kasus sengketa ini, karena dalam militer pun China sangat berkembang pesat dan
bersaing dengan AS. maka dari itu China tidak gentar untuk melawan keempat Negara
anggota ASEAN karena dalam militerpun China jauh lebih kuat jika dibandingkan
militer gabungan dari keempat negara anggota ASEAN [2].
Dalam pandangan realisme negara China akan terus memperjuangkan kepentingan
nasionalnya agar China dapat tetap Survive
sebagai negara komunis yang memiliki kekuatan besar dan akan terus
memperbesar power selama
barang-barang China masih beredar luas di pasaran global.
China terlihat sangat cemas sekali jika
keamanan negaranya terganggu, terlihat ketika pesawat pengintai dan kapal
militer milik AS masuk Zona Ekonomi Eksklusif milik China, dengan cepat china
langsung melakukan counter dengan
mengusir ataupun memotong penerbangan militer AS yang berada perbatasan China.
Hal ini menunjukkan bahwa China sangat siap menjaga keamanan nasionalnya dari
militer asing apapun alasan mereka berada di kawasan China termasuk Zona
Ekonomi Eksklusif milik China untuk melindungi rakyatnya dari ancaman luar.
Namun, disisi lain kecemasan china ini membuktikan bahwa china adalah negara
yang serakah dimana sangat takut sekali jika keuntungannya di ambil alih oleh
negara.
Dalam
pandangan power centrism sangat
nampak jelas china lah yang mempunyai power
terbesar dalam konflik laut china selatan dengan
4 negara anggota ASEAN (Filipina, Vietnam, malaysia, Brunei) dan juga
taiwan. Dilihat dari kekuatan militernya
saja china sudah memiliki kartu emas untuk memenangkan sengketa ini ketika
nantinya konflik ini pecah menjadi perang militer. Larangan China atas operasi
kapal militer AS di ZEE China membuktikan bahwa sistem internasional yang dalam
hal ini PBB dianggap tidak memiliki peran penting dan china lah yang memiliki power centrism terkuat, walaupun dalam
kasus ini AS mengklaim larangan China itu tidak berdasar karena dalam United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCOS) aturan tentang operasi
kapal militer di kawasan ZEE tidak diatur. China melihat AS sebagai pelanggar
kedaulatan yang masuk tanpa izin ke dalam negaranya dengan mengoperasikan kapal
dan pesawat militer di wilayah China tanpa mempunyai alasan yang jelas, maka
dari itu china berhak melarang dan juga menangkap militer-militer AS. Kegagalan
menegakkan hukum dan norma-norma internasional PBB dapat membahayakan
kepentingan AS di wilayah-wilayah lain. Dalam perspektif realis, China
menganggap semua negara itu sama dan memandang kondisi sistem internasional itu
bersifat anarki karena setiap negara berhak mengatur kedaulatannya
masing-masing tanpa campur tangan organisasi internasional dan hanya
negara-negara hegemon saja yang memiliki power
terutama china. Selain itu, China memainkan peran utama yang memainkan power nya sebagai aktor dalam kasus ZEE
ini tanpa menghiraukan PBB sebagai suprastate
dalam sistem internasional yang telah memiliki aturan-aturan hukum tentang
wilayah laut dan perairan.
China merupakan sebuah negara yang unitary
actor dan rasional yang haus akan power.
Maka dari itu china berusaha untuk memperbesar powernya dengan jalan meningkatkan kapabilitas militer melalui
penambahan alat-alat militer dan juga menambah tenaga militer merka. Disamping
itu untuk mengakomodasi kepentingan politik dan ekonomi nasional, china
memperbesarnya dengan cara mengambil alih wilayah laut china selatan sepenuhnya
yang hingga ini masih menjadi konflik. Hal ini sesuai dengan pandangan realis
tentang negara adalah egois yang mementingkan kepentingan nasionalnya agar
dapat terakomodasi sepenuhnya dan power
dimiliki oleh negara-negara hegemon dimana kekuatan ini digunakan untuk
memperbesar kepentingannya. Namun realisme gagal menjelaskan mengenai groupism bahwa dengan beraliansi negara
dapat membentuk sebuah balance of power, karena
china tanpa menjalin aliansi dengan negara lain dapat melawan negara-negara
anggota ASEAN yang beraliansi. China lebih memiliki power besar dibandingkan
lima negara lawan yang beraliansi hingga balance
of power yang ada tidak seimbang.
DAFTAR PUSTAKA
·
Suharna, Karmin
kolonel. “Konflik dan Solusi Laut China
Selatan dan Dampaknya Bagi Ketahanan Nasional”. Majalah Komunikasi &
Informasi Tannas edisi 94, 2012
·
Jackson, Robert
& George Sorenson. 2009. Pengantar Studi
Hubungan Internasional. Yogyakarta : Pustaka pelajar.
·
Glaser, Bonnie S. 2012. Armed Clash in the South China Sea,
http://www.cfr.org/world/armed-clash-south-china-sea/p27883.
(diakses
4 Januari 2014)
- Rosalinda, Heny. 2013. “Foreign Policy Analysis in Theories”. Materi presentasi disajikan dalam mata kuliah Analisis Politik Luar Negeri, Universitas Brawijaya, Malang, 4 Januari 2014.
[1] Suharna, Karmin kolonel. “Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan
Dampaknya Bagi Ketahanan Nasional”. Majalah Komunikasi & Informasi
TanNas edisi 94, 2012, Hlm. 33-34
[2]
Suharna, Karmin kolonel. “Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan
Dampaknya Bagi Ketahanan Nasional”. Majalah Komunikasi & Informasi
TanNas edisi 94, 2012, Hlm. 38
No comments:
Post a Comment