11/13/13

“THE DEMAND FOR INTERNATIONAL REGIMES”




Dalam mata kuliah Organisasi dan Admisitrasi Internasional dikenal sebuah Rezim Internasional dimana Rezim ini berasal dari sudut pandang teori realis. Rezim internasional adalah suatu ilmu tentang bagaimana kita atau suatu negara dapat menjalin kerjasama dan kooperatif dengan negara-negara lain di dunia ini. Selain itu rezim internasional juga memberikan solusi terhadap negara-negara yang selalu menyelesaikan masalah dengan perang, melalui rezim ini suatu perang dapat di minimalisir dengan cara melakukan hubungan kerjasama yang dapat memberikan manfaat bagi masing-masing negara. 

Keohane (2005) mengemukakan Teori stabilitas hegemoni dimana konsentrasi power terhadap satu negara dominan yang memfasilitasi perkembangan suatu rezim agar menjadi kuat dan adanya fragmentasi kekuasaan yang dikaitkan dengan kejatuhan sebuah rezim. Hadirnya negara hegemon dalam suatu rezim internasional dirasa sangat penting karena selain dapat mengontrol perilaku negara-negara anggota rezim, negara hegemon juga dapat berperan sebaga supplier dalam rezim internasional. Kemudian keohane mengemukakan beberapa teori dalam “the demand for International Regimes”.

teori yang pertama adalah systemic constraint-choice analysis : virtues and limitation, dalam teori ini lebih condong kepada ilmu ekonomi karena menjelaskan tentang outcome tidak berasal dari aktor atau negara yang melakukan kerjasama melainkan berasal dari atribut dan dari sistem yang ada dalam negara tersebut, namun perubahan karakteristik dari sistem internasional akan turut mengubah opportunity cost para aktor dari berbagai macam aksi, yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan perilaku aktor-aktor yang terlibat didalamnya (Keohane, 1982).

Selanjutnya yang kedua adalah the context and functions of international regimes, teori kedua ini lebih menekankan bahwa dengan pembuatan sebuah perjanjian yang saling menguntungkan antar anggota dalam sistem akan lebih efektif untuk mengurangi keadaan anarki yang akan berakhir pada perang.

Teori yang ketiga elements of a theory of the demand for international regimes, adalah elemen dasar dari teori permintaan rezim internasional yang mengaitkan tentang kegagalan pasar dapat menghambat terbentuknya suatu perjanjian dalam rezim internasional.

            Dari beberapa penjelasan tentang rezim internasional dari Robert O. Keohane, dapat ditarik kesimpulan bahwa rezim internasional adalah sebuah alat peredam terjadinya perang antar negara di dunia. Selain itu rezim juga sebagai fasilitator untuk mengadakan kerjasama dan kooperasi dengan seluruh negara didunia yang diwujudkan dengan perjanjian-perjanjian yang menguntungkan bagi negara-negara yang berada dalam payung rezim ini. Sehingga rezim dipercaya sebagai alat yang ampuh penepis perang antar negara-negara dan salah satu solusi untuk perdamaian dunia. Selain itu dalam menghadapi ketidakpastian politik internasional yang sering tidak terduga yang akan dihadapi oleh seluruh negara didunia, rezim berfungsi sebagai obat paracetamol yang dapat mengurangi suhu dalam dunia internasional yang memanas. Namun, disisi lain rezim juga memunculkan sebuah ketidakpastian bagi seluruh negara anggota mengenai komitmen negara-negara anggota dalam rezim itu. (keohane, 1982)

PACKAGING AGREEMENT



1   1.      Mengapa Orang perlu melakukan Packaging Agreement?
Packaging Agreement sangat penting karena dalam perjanjian internasional bertujuan untuk menghasilkan goal atau persetujuan yang telah disepakati bersama dalam negosiasi berupa perjanjian diplomatik. Setidaknya ada 4 hal tentang pentingnya melakukan Packaging Agreement. Yang pertama adalah untuk menciptakan  kewajiban hukum bagi masyarakat internasional agar dalam melakukan perjanjian internasional dapat tercipta persetujuan secara penuh tanpa ada pihak yang dirugikan. Kedua adalah dalam melakukan negosiasi kedua belah pihak biasanya menyampaikan secara langsung maksud mereka dan menyetujui kesepakatan yang telah mereka lakukan, namun tidak jarang dalam melakukan kesepakatan seseorang lebih baik untuk menyembunyikan maksud mereka. Ketiga adalah dalam melakukan ratifikasi biasanya disetujui kedua belah pihak atau membutuhkan pihak lain sebagai penyusun ratifikasi. Dan yang keempat pihak-pihak yang melakukan perjanjian lebih baik menyembunyikan tujuan mereka agar dalam mencapai hasil akhir mereka dapat memenangkan negosiasi.
2.        Apa saja bentuk-bentuk Packaging Agreement?
Bentuk-bentuk packaging agreement adalah :
1.      treaties yaitu perjanjian yang tertulis antar 2 negara,  tindakan memperlakukan untuk penyesuaian perbedaan, untuk membentuk perjanjian
2.      protocols adalah surat-surat resmi yg memuat hasil perundingan/persetujuan
3.       exchanges of notes ialah metode tidak resmi yang sering digunakan dalam praktik perjanjian internasional, dan
4.      agreement pernyataan lisan atau tertulis dari pertukaran janji
5.      final acts tindakan terakhir dalam melakukan kesepakatan

3.      Apakah alasan seseorang melakukan Packaging Agreement?
Setidaknya ada 4 alasan mengapa  negara melakukan perjanjian Internasional yaitu :
1.      International legal obligations at a premium,  kedua belah pihak yang melakukan International legal obligations sadar bahwa itu adalah sebuah kewajiban, karena menghormati satu sama lain antar pelaku kesepakatan, walapun salah satu pihak yang melakukan kesepakatan negaranya tidak selevel.
2.      Signalling importance at a premium,  kesepakatan adalah salah satu bagian dari kepentingan politik tetapi tidak dapat menjadi suatu  syarat untuk mengikat kesepakatan antara kedua pihak.
3.      Convenience at a premium, adalah kedua belah pihak merasa nyaman  untuk membuat perjanjian secara informal.
4.      Saving face at a premium, menyembunyikan maksud mereka seolah-olah tidak membutuhkan perjanjian itu, justru lawannya lah yang membutuhkan

4.      Apa saja hambatan dalam melakukan Packaging Agreement?
Dalam perjanjian internasional ada beberapa hambatan yang mungkin terjadi dalam membuat international agreements. Yang pertama adalah Both language – or more, kendala yang biasa dialami oleh pelaku negosiasi adalah bahasa. Bahasa adalah  salah satu  syarat terpenting dalam perjanjian internasional, kadang dibutuhkan seseorang yang handal sebagai penerjemah agar maksud dan tujuan yang mereka sampaikan tidak salah sambung. Karena perbedaan ini bisa menghambat perjanjian internasional jika masing-masing pihak tidak memahami isi perjanjian dan ditakutkan terjadi hal yang tidak diinginkan. Hambatan  lainnya adalah Small Print, maksudnya adalah catatan dari masing-masing pihak yang menunjukkan bahwa isi dari perjanjian telah sesuai dengan apa yang mereka sepakati apa belum. jika catatan yang mereka tulis tidak sesuai, masing-masing pihak akan melakukan protes kepada  pihak yang lain, dan secara otomatis hal ini juga akan  menghambat ratifikasi perjanjian internasional bahkan bisa berakibat pada pembatalan perjanjian. Yang ketiga Euphemisms, adalah istilah kata pelembut. Euphemisms dapat membantu negara-negara dalam melakukan penanda tanganan perjanjian yang menyetujui untuk menarik pasukan militer mereka dari situasi yang tidak menguntungkan. Politisi yang hidup berdasarkan suara juga hidup dalam euphemism. Yang terakhir adalah Separate but related agreements, ketika suatu agreement didasarkan pada hubungan kedua belah pihak, dalam hal ini perlu dilakukan penghilangan hubungan sementara agar perjanjian dapat berjalan lancar tanpa adanya rasa sungkan antar pihak karena hubungan tersebut.

11/11/13

Perdebatan Besar Ke-4 dalam Hubungan Internasional dan Kritik Post Positivis



Dalam perjalanan panjang  Studi Hubungan Internasional tentunya tidak lepas dari berbagai perdebatan-perdebatan hingga terciptanya HI sebagai ilmu untuk dipelajari. Dalam SHI terjadi 4 perdebatan besar oleh ilmuan-ilmuan HI dalam perkembangan studi ini atau sering kita sebut the great debate.  Perdebatan besar ini berawal pada abad 20-an namun hingga saat ini belum kunjung usai. Dalam the great debate yang dilakukan para ilmuan-ilmuan SHI hingga saat ini adalah perdebatan antara tradisi – tradisi dalam Hubungan Internasional mempelajari tentang apa dan bagaimana hubungan dalam internasional yang ideal, tentang bagaimana asumsi-asumsi positivis yang sejak awal digunakan oleh filsuf-filsuf sebelum abad 20 hingga munculnya aliran post positivis yang mengusung sebuah perspertif yang berbeda dari aliran positivis. Namun, dalam perdebatan besar ke-4 yang terjadi hingga saat ini bukan mencari siapa yang benar atau yang salah, tetapi lebih membuktikan tentang siapa yang bisa menganalisis dan menjelaskannya serta dapat diterima oleh para pembelajar HI.
Berbeda dengan great debates yang terjadi sebelumnya, dimana great debate 1 yang memperdebatkan antara kaum realis dan liberalis, great debate 2 antara kaum Tradisionalisme dan Behaviorisme, serta great debate 3 tentang Ekonomi Politik Internasional yang dibahas oleh kaum neo-marxisme dan kaum neo-liberalisme dimana pada masa terjadinya great debate tersebut terjadi pada masa  World War 1 hingga Cold War. Dalam perdebatan ke-4 ini  diwarnai dengan isu-isu kontemporer dan metodologi-metodologi ke-HI an serta lebih fokus membahas tentang perspektif-perspektif positivis seperti Liberalism, Marxism, Realism, Neo-Marxism, Neo-Realism, dll. Karena para sarjana-sarjana HI tersebut merasa bahwa teori – teori tersebut sudah tidak cocok dan sesuai dengan isu berkembang yang semakin modern ini. Berawal dari itulah para sarjana-sarjana HI pada masa itu mengkritik terhadap teori-teori dan metodologi kontemporer yang sedang berkembang.
Metodologi Positivis yang merupakan warisan dari para kaum behaviorealis yang lebih mengutamakan nilai ilmiah dan empiris kemudian ditentang oleh aliran baru yang disebut kaum post positivis. Dalam positivis dimana aliran ini sangat kental dengan ajaran-ajaran realis, liberalis, marxis yang kemudian di pertanyakan ke empirisannya oleh kaum post positivis dengan mengusung sebuah teori-teori kritis seperti, feminisme, post modernisme, konstruktivisme, serta teori normatif. Hal inilah yang menjadi tamparan besar kaum positivis. Post positivis adalah sebuah aliran baru dimana memiliki paham yang luas yang dirangkum dalam beberapa metodologi. Aliran post positivis sangat vokal mengkritik asumsi-asumsi kaum positivis dan mempertanyakan kebenaran-kebenaran positivisme yang telah tersusun rapi sejak dulu. Beberapa kritik dari kaum post positivis, yang pertama fakta itu berdasarkan teori, yang kedua tentang falibilitas teori dimana tidak sepenuhnya semua teori dapat dijelaskan secara empiris. Ketiga, fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
Keempat, Hasil penelitian tidak selalu objektif, tetapi adalah  hasil interaksi manusia dan alam yang dapat berubah sewaktu-waktu.
Menurut Gaddis kegagalan teori HI dalam mengantisipasi berakhirnya Perang Dingin disebabkan oleh kelemahan metodologis dan teoritis yang tidak lepas dari aliran positivis[1]. Selain kritik yang dilontarkan oleh para kaum post positivis, terdapat 4 kritik kontemporer pasca-positivisme yakni : Kritik epistemologi yaitu terhadap pemahaman dan fondasi ilmu pengetahuan yang berlaku dalam SHI, kritik ontologis terhadap agenda SHI konvensional, kritik politik keilmuan terhadap sifat otoriter dan represif SHI akibat batas – batas akademik konvensional yang digariskan secara arbitrarily dan, kritik kultural terhadap SHI sebagai bidang studi yang terlalu didominasi oleh AS[2].
Kritik epistemologi menolak keras ilmu pengetahuan dalam SHI berasal dari epistemologi positivisme. SHI menganggap ilmu pengetahuan adalah suatu pemberian, jadi tidak perlu dipersoalkan. Epistemologi positivisme menganggap bahwa realitas eksternal berasal dari faktor luar para penstudi. Namun asumsi ini ditolak oleh pasca positivisme karena mereka menganggap bahwa asumsi “realitas eksternal” adalah sebuah hal yang tanpa dasar yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam kritik ontologi membahas tentang pembangunan sebuah Studi Hubungan Internasional secara ilmiah dan bebas nilai dimana diharapkan SHI dapat menjadi ilmu yang konkret. Dengan kata lain bahwa SHI menghasilkan pemahaman ilmiah terhadap dinamika politik internasional.
Selanjutnya, dikritik ketiga dalam politik keilmuan mengklaim bahwa SHI merupakan sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri yang terpisah dari bidang ilmu lain dan bebas dari pengaruh penguasa. Sikap disiplin ini berimplikasi pada karakter SHI yang mandiri.
Di kritik terakhir tentang kultural lebih menstereotipekan SHI sebagai ilmu yang berasal dari AS. Bukan hanya diutarakan oleh ilmuan luar negeri, namun kritik ini juga dilontarkan oleh sarjana dari AS sendiri. Kritik kulural menganggap SHI merupakan alat untuk melanggengkan kekuasaan AS dalam kancah internasional.
Dalam aplikasinya ternyata keempat kritik tersebut memiliki dampak yang kuat terhadap kedudukan SHI sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Kritikan-kritikan tersebut berimplikasi terhadap hakekat bidang HI selama ini. Inilah tantangan para sarjana HI untuk tetap mempertahankan substansi HI yang selama ini di bangun oleh para filsuf-filsuf dan ilmuan HI. Post positivisme mengubah perspektif dunia, bukan hanya objektif melainkian juga secara subjektif. Selain itu yang pada awalnya hanya berasumsi bahwa apa yang kita lihat merupakan apa yang terjadi atau realitas sebenarnya, namun dalam post positivis kita dibentuk untuk melihat dengan kacamata yang lebih luas.

Sukma, Rizal.. Hubungan Internasional Dekade 1990-an: Hegemoni, Dekonstruksi dan Agenda.3-11
[1] [2] Sukma, Rizal.. Hubungan Internasional Dekade 1990-an: Hegemoni, Dekonstruksi dan Agenda.hal.6

“THE DEMAND FOR INTERNATIONAL REGIMES”



Dalam mata kuliah Organisasi dan Admisitrasi Internasional dikenal sebuah Rezim Internasional dimana Rezim ini berasal dari sudut pandang teori realis. Rezim internasional adalah suatu ilmu tentang bagaimana kita atau suatu negara dapat menjalin kerjasama dan kooperatif dengan negara-negara lain di dunia ini. Selain itu rezim internasional juga memberikan solusi terhadap negara-negara yang selalu menyelesaikan masalah dengan perang, melalui rezim ini suatu perang dapat di minimalisir dengan cara melakukan hubungan kerjasama yang dapat memberikan manfaat bagi masing-masing negara. 

Keohane (2005) mengemukakan Teori stabilitas hegemoni dimana konsentrasi power terhadap satu negara dominan yang memfasilitasi perkembangan suatu rezim agar menjadi kuat dan adanya fragmentasi kekuasaan yang dikaitkan dengan kejatuhan sebuah rezim. Hadirnya negara hegemon dalam suatu rezim internasional dirasa sangat penting karena selain dapat mengontrol perilaku negara-negara anggota rezim, negara hegemon juga dapat berperan sebaga supplier dalam rezim internasional. Kemudian keohane mengemukakan beberapa teori dalam “the demand for International Regimes”.

teori yang pertama adalah systemic constraint-choice analysis : virtues and limitation, dalam teori ini lebih condong kepada ilmu ekonomi karena menjelaskan tentang outcome tidak berasal dari aktor atau negara yang melakukan kerjasama melainkan berasal dari atribut dan dari sistem yang ada dalam negara tersebut, namun perubahan karakteristik dari sistem internasional akan turut mengubah opportunity cost para aktor dari berbagai macam aksi, yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan perilaku aktor-aktor yang terlibat didalamnya (Keohane, 1982).

Selanjutnya yang kedua adalah the context and functions of international regimes, teori kedua ini lebih menekankan bahwa dengan pembuatan sebuah perjanjian yang saling menguntungkan antar anggota dalam sistem akan lebih efektif untuk mengurangi keadaan anarki yang akan berakhir pada perang.

Teori yang ketiga elements of a theory of the demand for international regimes, adalah elemen dasar dari teori permintaan rezim internasional yang mengaitkan tentang kegagalan pasar dapat menghambat terbentuknya suatu perjanjian dalam rezim internasional.

            Dari beberapa penjelasan tentang rezim internasional dari Robert O. Keohane, dapat ditarik kesimpulan bahwa rezim internasional adalah sebuah alat peredam terjadinya perang antar negara di dunia. Selain itu rezim juga sebagai fasilitator untuk mengadakan kerjasama dan kooperasi dengan seluruh negara didunia yang diwujudkan dengan perjanjian-perjanjian yang menguntungkan bagi negara-negara yang berada dalam payung rezim ini. Sehingga rezim dipercaya sebagai alat yang ampuh penepis perang antar negara-negara dan salah satu solusi untuk perdamaian dunia. Selain itu dalam menghadapi ketidakpastian politik internasional yang sering tidak terduga yang akan dihadapi oleh seluruh negara didunia, rezim berfungsi sebagai obat paracetamol yang dapat mengurangi suhu dalam dunia internasional yang memanas. Namun, disisi lain rezim juga memunculkan sebuah ketidakpastian bagi seluruh negara anggota mengenai komitmen negara-negara anggota dalam rezim itu. (keohane, 1982)

THE AFRICAN UNION AND SECURITY


Kliping Analisis Berita Regionalisme
Studi Kawasan African Union



Kemampuan tentara AU khususnya dalam misi penjaga perdamaian , AU selalu menghadapi tantangan khususnya diwilayah Afrika sendiri. Banyak konflik terjadi di wilayah African Union  yang banyak ditimbulkan oleh teror-teror yang mengaku militan islam dengan nama Al-shabaab [1]. Sejak berdiri tahun 2002 sebagai pengganti dari OAU (Organization of African Union) mengingat OAU tidak mampu mengatasi konflik bersenjata pasca perang dingin serta gagalnya menjaga perdamaian dan mencegah kejahatan genosida di afrika, AU melakukan upaya yang lebih keras dengan bekerjasama dengan PBB dan Uni Eropa dalam operasi pemeliharaan perdamaian, dewan keamanan AU menyoroti Bab VIII Piagam PBB ( khususnya Pasal 52 ) , yang mendorong organisasi regional untuk bekerja sama dengan PBB dan mengakui peran unggul dari Dewan Keamanan PBB dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional [2].
Jika ditinjau hingga sekarang, selama 11 tahun AU berdiri kekuatan militer yang dimilikinya banyak menghadapi tantangan. Berbagai kerjasama yang pernah dilakukan antara AU – PBB hingga diimplementasikan dengan AMISOM dan UNAMID[3] belum dapat mendongkrak kapabilitas militer AU. Mengingat bahwa negara anggota AU yang berjumlah 53  memang sangat perlu kordinasi khusus dalam bidang militer, selain itu sumber daya manusia, keuangan dan logistik antara negara-negara AU sendiri juga kurang memadai sehingga melemahkan kemampuannya untuk melakukan berbagai operasi militer. Konflik senjata yang terjadi di Somalia, Libya, dan krisis di Mali adalah beberapa contoh tentara-tentara AU diterjunkan, namun gejolak pendapat antara negara anggota dengan dewan keamanan membuat kekuatan militer AU melemah. Inilah yang menyebabkan mengapa militer AU selalu mengalami kendala di intern Afrika.
Seperti kasus pemboman yang terjadi pada salah satu toko teh di Beledweyne, Somalia dimana pelaku utamanya adalah militan al-shabaab hingga menewaskan 16 orang dan terluka 30 orang termasuk tentara AU yang sedang bertugas di Somalia. Al-shabaab secara terang-terangan mengakui bahwa merekalah pelaku pemboman ini, bom ini mereka tujukan pada tentara Ethiopia dan Djibouti di Beledweyne[4].
            Jika negara-negara Afrika dapat berkomitmen pada  institusi tertinggi yaitu African Union, keamanan di negara-negara afrika akan lebih terjamin. Konflik dibeberapa negara Afrika termasuk serangan dari militan jihad Al-shabaab terjadi karena negara-negara di benua afrika belum memiliki kesadaran untuk melakukan cooperation dan menyerahkan kekuasaan mereka pada institusi yang lebih tinggi, tidak lain adalah African Union (AU). Sebagai institusi beranggotakan 53 negara di afrika fungsi dan peran AU kurang dioptimalkan. AU memiliki peran yang lebih tinggi luas dari negara, sehingga dengan adanya AU dapat membuat benua afrika menjalin kerjasama lebih luas baik secara intern maupun secara ekstern. Dengan membangun kemitraan inilah terutama dalam bidang keamanan dan perdamaian negara di benua afrika dapat mengurangi konflik antar negara dan juga memerangi para tentara jihad militan dengan mengatas namakan islam.
            Organisasi regional ini akan akan melakukan kebijakan-kebijakan serta tindakan yang terstruktur dalam sistem global untuk mengatur negara-negara anggota yang ada dalam satu region Afrika sehingga dapat tercipta stabilitas negara. salah satu keberhasilan AU dalam tujuannya untuk menciptakan keamanan dan perdamaian di benua afrika adalah bekerjasama dengan PBB, hal ini jelas bahwa PBB dan Uni Afrika perlu bekerja sama erat dan lebih terfokus pada bidang-bidang tertentu seprti politik, sipil, dan militer agar dapat memberikan keamanan di Afrika.
            Dengan terintegrasinya seluruh negara-negara di afrika, militer AU dapat memperoleh standarisasi pelatihan pasukan untuk keamanan dan perdamaian dari PBB. Hal ini akan mengurangi konflik di benua afrika dan membuat para militan jera untuk melakukan teror. Dengan begitu bukan hanya di benua afrika militer AU melakukan tugasnya, namun dapat mewakili PBB sebagai pasukan PBB dalam menciptakan keamanan dan perdamaian di dunia.
            Negara-negara anggota harus memiliki inisiatif dan saling merangkul untuk melakukan kerjasama multilateral antar negara sehingga dapat terwujud African Eunion sebagai pencipta keamanan dan perdamaian. African Union yang bukan hanya untuk benua Afrika tetapi juga dapat berkontribusi untuk PBB. Dan pada akhirnya terciptalah kerjasama ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya seperti organisasi regional Uni Eropa.

[1] Africa, African union news http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-24595012 ,diakses pada tanggal 21 oktober 2013
[2] Council on Foreign Relation, African union Security http://www.cfr.org/africa-sub-saharan/african-union-security/p31142 , diakses pada tanggal 21 oktober 2013
[3] AMISOM, African Union Mission in Somalia. UNAMID, African Union-United NationsMission in Dafur
[4] Africa, African union news http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-24595012 ,diakses pada tanggal 21 oktober 2013

[5]Council on Foreign Relation, http://www.cfr.org/regional-security/african-unions-conflict-management-capabilities/p26044?cid=ppc-Google-african_union_paper&gclid=CJjdh_6oqLoCFQQ44god_2sAjA diakses pada tanggal 21 oktober 2013

Critical Review : Diplomacy and Domestic politics: The Logic of Two-Level Games


                            
Dalam pengambilan suatu kebijakan Internasional suatu negara tidak lepas dari kebijakan domestik negara itu sendiri. Seringkali aplikasi yang dilakukan suatu negara dalam berinteraksi secara internasional merupakan refleksi dari kebijakan domestik yang berlaku di negara itu. Pada kesempatan kali ini penulis akan menelaah tulisan dari Robert D. Putnam (1988) dalam bukunya yang berjudul International Organization yang mana ia menjelaskan hubungan diantara kebijakan domestik dengan kebijakan internasional yang diambil oleh suatu negara. Dalam tulisannya, Diplomacy and domestic politics: the logic of two-level games Putnam (1988) mengungkapkan tujuh poin penting yang mampu menjelaskan keterkaitan dari kebijakan domestik dengan internasional suatu negara. Ketujuh poin tersebut ialah domestic-international entanglements the state of the art, two-level games: a metaphor for domestic-international interactions, towards a theory of ratification: the importance of “win-sets”, determinant of the win-set, uncertainly and bargaining tactics, restructuring and reverberation, dan  the role of the chief negotiator.
Poin pertama adalah hubungan antara domestik dan internasional sebagai the state of the art. Kebijakan domestik yang lebih fokus pada keadaan struktural suatu negara terutama kekuatan negara, selain itu kebijakan domestik membahas masalah politik, kelas sosial, kelompok kepentingan, bahkan pemilu hingga mempengaruhi perspektif publik. Selanjutnya putnam (1988) menjelaskan bahwa State-Centric  mencerminkan model unitary actor dan bukan suatu pijakan yang tepat dalam berteori dalam domestik maupun luar negeri, karena negara dalam menjalin kerjasama terkesan lebih memproteksi kebijakan domestik.
Selanjutnya adalah Two-Level games : sebuah metafora untuk interaksi domestik dan internasional. Yang dimaksud Two-Level games adalah adanya dua level dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Yang pertama adalah dalam level nasional, dalam skala nasional kelompok masyarakat menekan pemerintah untuk mengadopsi kepentingan mereka menjadi kepentingan nasional negara itu. Sementara dalam level internasional,masing-masing negara memaksimalkan kemampuan agar kepentingan negara tersebut dapat diterima di internasional (Putnam, 1988: 434).
Dalam poin ketiga yaitu towards a theory of ratification: the importance of “win-sets”. Disini kemampuan seorang negosiator diuji dalam mewakili negara mereka hingga berhasil membawa kepentingan mereka hingga mencapai ratifikasi. Satu-satunya kendala dalam proses mencapai ratifikasi adalah dalam hal voting, karena sebuah ratifikasi yang final harus benar-benar divoting kecuali dalam perjanjian tersebut terjadi sebuah kesepakatan antar kedua belah pihak.
Poin yang keempat tentang  win-set solution, dalam mencapai sebuah titik puncak suatu negosiasi Putnam (1988) menjelaskan faktor-faktor yang dapat membantu salah satu pihak untuk mencapai win-set­ ­­yaitu power dalam negosiasi, preferensi, institusi politik, serta strategi negosiator dalam bernegosiasi. Namun, dalam beberapa kasus kesepakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak lebih dominan saat di meja dalam pembahasan kepentingan mereka masing-masing.
kelima adalah  uncertainly and bargaining tactics. Dalam negosiasi pasti sudah menyiapkan rencana cadangan jika negosiasi pertama tidak berhasil. uncertainly and bargaining tactics berlaku jika penawaran win-set solution tidak pasti dalam melakukan negosiator. Ketidak pastian itu semakin meningkatkan kekhawatiran seseorang tentang resiko pembelotan paksa dari negara lawan. Selanjutnya kesepatakan ini akan ditawarkan jika negosiasi pertama tidak berhasil.
Yang keenam adalah restructuring and reverberation. Sebuah usaha pemerintah dalam memperluas win –set satu sama lain. Maksudnya adalah kerjasama tidak hanya homogen, tetapi secara heterogen dan dalam lingkup yang lebih luas yakni dalam ekonomi, budaya, serta kerjasama yang lebih kompleks lagi.
Yang terakhir adalah the role of the chief negotiation, menjelaskan tentang peran seorang pemimpin negosiator. Negosiator bukan hanya seorang duta besar, melainkan bisa dilakukan oleh kepala negara, menteri yang melakukan kerjasama dengan negara lain, ataupun seorang yang dipercaya untuk melakukan negosiasi oleh suatu negara. Disini peranan seorang negosiator adalah sebagai ujung tombak dalam mengakomodasi kepentingan masing-masing negara, tentang bagaimana kesuksesan mereka dalam bernegosiasi dengan negara lain.
Dalam teori kritis yang dikemukakan Putnam (1988) penulis setuju dengan semua teori. Karena kebijakan luar negeri dibuat karena sebuah negara memiliki kepentingan domestik. Negara akan selalu melakukan kerjasama dengan negara lain karena tidak akan dapat memenuhi kepentingan nasional mereka dengan sendirinya. 

11/10/13

PENDEKATAN DALAM ORGANISASI DAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL


Terdapat dua teori pendekatan dalam Organisasi dan Administrasi Internasional. Yakni teori pendekatan rezim dan teori pendekatan institusional. Pendekatan Rezim, adalah sebuah pendekatan yang lebih fokus pada aturan, prinsip, norma, decision making, dan isu-isu yang spesifik (kreshner).  efek perilaku organisasi internasional fokus  terhadap aktor lain, terutama pada negara. Elemen terpenting dalam  pendekatan rezim berfokus pada harapan para aktor. Sedangkan, Pendekatan institusional melihat apa yang terjadi dalam
organisasi internasional tertentu, bukan pada pengaruhnya terhadap pelaku lainnya.
Teori pendekatan rezim adalah teori pendekatan yang memungkinkan kita untuk menganalisis dan melihat proses yang ada serta dinamika perkembangan organisasi internasional dalam mempengaruhi negara. menurut Stephen D. Kreshner dalam organisasi internasional jika ditinjau dari teori rezim bagaimana para anggota memenuhi kepatuhan dan ketaantan untuk tetap berpegang teguh pada aturan, prinsip, norma, decision making, dan isu-isu yang lebih spesifik. Teori rezim memiliki ciri-ciri struktural yang dibagi menjadi 2, yakni secara formal dan secara informal. Secara formal teori ini mengamati pada legislatif suatu negara, yang kedua adalah pada kerangka kerja suatu lembaga, dan terakhir adalah kondisi birokrasi dalam pemerintahan. Secara informal ciri-ciri rezim lebih fokus terhadap jaringan dn interaksi organisasi dalam melestarikan norma yang ada. Menciptakan shared value and meaning  diantara anggota. Yang ketiga adalah dalam derajad tertentu rezim mampu mempengaruhi perilaku anggota dengan cara memberikan paksaan mengenai perilaku. Selanjutnya rezim mempengaruhi tingkah laku anggota melalui logic of appropriatnes.rezim adalah sesuatu yang menyatu dengan Sistem Internasional sehingga perilaku terkait tidak saling melepaskan diri.
Dalam teori pendekatan institusional lebih melihat struktur secara formal, organisasi, hirarki birokrasi, dan organisasi internasional. Yang dibahas dalam pendekatan ini adalah menganalisis hal-hal yang terdapat dalam perjanjian internasional.  Pendekatan institusi dilakukan berdasarkan mengapa dan bagaimana organisasi internasional dapat terbentuk hingga anggota dalam organisasi dapat berkumpul. Selain itu pendekatan Institusi juga mengamati tentang bagaimana organisasi membuat keputusan, pemilihan struktur dalam organisasi serta dampak-dampak yang terjadi suatu organisasi terbentuk.

Peran Serikat Buruh di Negara Swiss Terhadap "Foreign Policy" di Negara Swiss


Serikat buruh di Swiss juga didominasi oleh para pekerja asing yang berasal dari negara-negara anggota Uni Eropa. Hal ini dikarenakan Swiss dan Uni Eropa pernah membuat perjanjian bilateral “Free movement person”. kurang lebih seperempat tenaga kerja yang ada di Swiss terdiri dari pekerja asing. Swiss tidak akan mampu mempertahankan  kemampuan pereekonomian mereka tanpa pekerja asing. Kerja tenaga kerja asing tidak hanya memberikan manfaat, namun  juga memiliki perusahaan-perusahaan di Swiss. Karena berlatar belakang sosial yang beragam dan tingginya pertumbuhan ekonomi, Swiss mulai mengintegrasikan penduduk asing dan penduduk lokal dengan budaya  dan bahasa.
Peran serikat buruh di Swiss yang sebagian dari keanggotaannya berasal dari pekerja asing setidaknya mendukung jika Swiss beraliansi dengan Uni Eropa. Karena nantinya jika Swiss bergabung dengan UE akan menguntungkan bagi para pekerja asing yang juga memiliki perusahaan di Swiss. Dengan bergabungnya Swiss dengan UE maka perusahaan asing dapat dengan mudah mengendalikan perekonomian Swiss melalui Uni Eropa. Swiss juga belum bisa menerapkan kebijakan untuk membatasi pekerja asing terutama dari negara-negara UE karena perusahaan-perusahaan milik asing tersebut memberi keuntungan bagi Swiss.
Hingga saat ini, negara Swiss mengalami dilema dalam pengambilan keputusan tentang kebijakan pembatasan tenaga kerja asing. Di satu sisi para pekerja asing terutama yang memiliki perusahaan MNC memberikan keuntungan bagi negara Swiss dengan keberadaan mereka, namun di sisi lain rakyat tidak menghendaki untuk bergabung dengan Uni Eropa.