Perkembangan
ekonomi dan hubungan antar negara yang terjadi dewasa ini pada dasarnya
menunjukkan bahwa jarak antar negara sekarang ini bukanlah menjadi faktor
penghambat dalam melakukan hubungan kerjasama[1]. Sehingga
pola ini pun kemudian membuat semakin terbukanya perdagangan antar negara baik
bilateral maupun multilateral yang kemudian membentuk sebuah pasar dimana para
pelakunya merupakan aktor-aktor internasional, baik negara maupun non-negara.
Hal ini kemudian menjadikan keterbukaan ekonomi dan perdagangan bebas antar
negara semakin terbuka luas dan memberikan peluang bagi negara untuk
meningkatkan akses pasar produk dalam negeri di pasar internasional, namun
disisi lain hal ini pun menjadikan tantangan bagi industri dalam negeri
terhadap produk impor.
Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan langkah negara-negara anggota ASEAN sebagai upaya
integrasi regional dalam sektor ekonomi untuk memudahkan akses perdagangan
antar negara anggota ASEAN, hal ini merupakan salah satu langkah dalam
menghadapi perdagangan bebas yang pada dasarnya dirancang untuk menciptakan
manfaat bagi anggota-anggotanya untuk dapat bersaing di lingkup global. Tujuan
utama MEA sendiri adalah menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis
produksi, dimana dalam regional tersebut arus barang, jasa, investasi dan
tenaga terampil bebas dilakukan antara negara anggota ASEAN [2].
Terbentuknya MEA didasari oleh keinginan negara ASEAN untuk membentuk kerjasama
perdagangan yang lebih luas dalam bidang industri, energi, keuangan perbankan,
makanan, agrikultur dan kehutanan sebagaimana semua sektor itu dapat diakses
jika transportasi dan komunikasi berjalan tanpa hambatan[3].
Seperti yang disepakati oleh para pemimpin ASEAN pada pertemuan tahun 1997 di
Kuala Lumpur, bahwa ASEAN harus bertransformasi menjadi organisasi regional
yang menciptakan kestabilan, kemakmuran, dan kompetitif dengan pembangunan
ekonomi yang merata[4].
Di era
Globalisasi ini, setiap Negara tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa
melakukan kerjasama perdagangan dengan negara lain, secara sederhananya dengan
melakukan liberalisasi perdagangan akan membantu pertumbuhan ekonomi
negara-negara berkembang kearah angka yang lebih besar. Dengan liberalisasi
perdagangan melalui integrasi ekonomi, secara otomatis akan menurunkan hingga
meniadakan hambatan dagang sehingga membuka peluang bagi pengusaha untuk
mendapatkan akses di pasar regional. Maka kemudian, secara bertahap dengan
adanya perdagangan internasional akan berdampak positif pada pertumbuhan
ekonomi, sehingga dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat akan menghasilkan
sumber daya keuangan pula yang kemudian dapat digunakan untuk mengentaskan
kemiskinan, biaya kesehatan dan pendidikan[5].
Jika
menengok sejarah, perkembangan peradaban di Asia Tenggara dipengaruhi pula oleh
faktor perdagangan. Menurut Michael Laffan, Sejak abad ke-12 wilayah Asia
Tenggara menjadi urat nadi persimpangan dua zona perdagangan kuno yang penting,
maka banyak berdiri pelabuhan-pelabuhan yang tersebar dari selat malaka, teluk
Thailand, hingga pulau-pulau besar seperti sumatra, jawa, kalimantan hingga
maluku dimana antar pelabuhan tersebut telah memiliki jaringan dagang yang
saling terhubung. Pelabuhan-pelabuhan tersebut pun digunakan sebagai tempat
persinggahan para pelayar muslim dari persia dan gujarat yang sedang melakukan
misi perjalanan perdagangan ke Laut Cina Selatan. Di pelabuhan tersebut pun
terjadi interaksi perdagangan oleh pedagang muslim dengan penduduk setempat
dimana mereka menjadi pemasok rempah-rempah, getah, bulu burung langka, hingga parfum
terhadap pedagang asing tersebut [6].
Para
pedagang muslim tersebut pun memegang kunci dalam penyebaran islam di wilayah
Asia Tenggara, mengingat selat malaka yang menjadi rute utama perdagangan
antara asia barat dan asia timur menjadi bagian dari sistem perdagangan kuno
internasional pada masa itu. Menurut buku The
Cambridge History of Islam menuliskan bahwa :
“.... In the ports
of the Archipelago, already part of this trading system, the Muslim merchant
and his goods were as welcome as other traders from India had always been. The
conversion of Gujarat and other Indian trading centres to Islam increased the
numbers and wealth of the Muslim merchants, so that they came more and more
into prominence as the commercial partners and political allies of local
rulers, and the Hindus vanished from the seas.[7]”
Jika
berdasarkan kutipan diatas, maka dapat kita tarik benang merah bahwa pada zaman
dahulu ketika laut merupakan jalur utama dalam melakukan perdagangan antar pulau,
pelabuhan-pelabuhan di nusantara telah memiliki sistem perdagangan yang saling
terhubung. Dimana dipelabuhan-pelabuhan tersebut perekonomian dikuasai oleh
pedagang-pedagang muslim terutama para pedagang dari Gujarat (India) yang
mendirikan pusat-pusat perdagangan. Kian lama kedatangan para pedagang semakin
banyak dan menguasai perdagangan di pelabuhan hingga memiliki pengaruh terhadap
politik lokal, seiring berjalannya waktu mulai mengikis pula pengaruh hindu di
nusantara.
Lebih
lanjut dalam buku The Cambridge History
of Islam menjelaskan bahwa perdagangan merupakan faktor paling penting yang
menentukan persebaran Islam di kawasan Asia Tenggara. Kawasan Malaka yang pada
abad ke-9 hingga ke-15 masehi menjadi pusat dari persebaran islam yang disebarluaskan
melalui rute perdagangan hingga ke Brunei, Sulu, hingga maluku [8].
Bahkan bukan hanya pedagang dari Malaka saja yang melakukan misi penyebaran
islam melalui jalur perdagangan, namun peran dari pedagang tiongkok pun juga
turut serta mendukung proses islamisasi di Asia Tenggara pada abad ke-15 [9].
Bangsa tiongkok dianggap turut berperan dalam penyebaran islam di asia tenggara
dengan berhasil masuk jalur pelayaran Arab melalui perdagangan, bahkan
keberadaan Patani sebagai sebuah kota muslim adalah merupakan hasil dari kontak
antara Tiongkok dan Jawa [10].
ASEAN pada
awalnya terbentuk atas dasar politik yang didasari dalam satu kawasan, mulai
bertransformasi seiring kebutuhan anggota dan perkembangan zaman. Tahun 1992,
ASEAN membentuk AFTA (ASEAN Free Trade
Area) yang bertujuan untuk dapat meningkatkan daya saing antar negara
anggota sebagai basis produksi pasar dunia melalui penghapusan bea cukai dalam
ASEAN dan dapat menarik investasi asing ke ASEAN[11].
Berangkat dari kerja sama ini, proses integrasi mulai berkisar mengenai ekonomi
dan perdagangan, krisis keuangan ASEAN dan kebutuhan negara anggota yang masih
membutuhkan pembangunan mendorong ASEAN untuk dapat mewujudkan integrasi, yang
kemudian pada 1997 terwujudlah proklamasi ASEAN 2020. Dalam KTT ke-9 tahun
2003, para pemimpin ASEAN menginginkan untuk menciptakan komunitas ASEAN yang
dapat teritegrasi dalam segala sektor baik Politik, Keamanan hingga
Sosiokultural yang direncanakan dapat dilaksanakan secara penuh pada tahun 2020[12].
Namun,
menurut David Martin Jones dalam buku ASEAN
Economic Community : A Model For Asia-wide Regional Integrations? Mengatakan
bahwa rencana besar untuk integrasi ASEAN yang terwujud dalam Masyarakat
Ekonomi ASEAN tidak akan sepenuhnya terwujud karena sejauh ini sebagian besar
konektivitas ASEAN didanai oleh China, baik secara langsung maupun tidak
langsung, hal ini kemudian berdampak pada pembangunan infrastruktur baru yang
dibangun oleh negara-negara ASEAN diperuntukkan melayani kepentingan China[13].
Belum lagi kemampuan ASEAN dalam memberikan keamanan regional masih terancam
oleh dominasi China di Laut China selatan[14].
Jika
kita bertolak pada sejarah, dimana perdagangan di kawasan Asia Tenggara dahulu
didominasi oleh kaum muslim pendatang yakni Arab dan Gujarat (India) hingga
seiring berjalannya waktu mulai menguasai politik lokal. Maka seharusnya dengan
kondisi saat ini dengan jumlah muslim di Asia Tenggara mencapai 240 juta Muslim
di Asia Tenggara, yang berarti menyumbang 42 persen dari total penduduk Asia
Tenggara[15],
dapat menguasai perdagangan modern di kawasan ASEAN. namun hari ini yang
terjadi jika kita beracuan pada tulisan dari David Martin Jones, dimana
dikatakan terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN ini belum sepenuhnya terlaksana
karena pembangunan sebagian besar negara ASEAN didanai oleh negara China, maka
dalam logika penulis pembangunan tersebut harus memenuhi keinginan sang pemilik
modal. Maka dalam hemat penulis saat ini di Asia Tenggara kaum muslim kuat
secara jumlah namun lemah secara hegemoni, hal inilah kemudian menimbulkan
Anomali bagi penulis, yang menarik untuk diteliti.
[1] Kajian Dampak
Kesepakatan Perdagangan Bebas Terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia. Pusat Kebijakan Perdagangan Luar
Negeri Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan. Kementerian
Perdagangan RI. 2011. http://www.kemendag.go.id
/files/pdf/2014/01/06/Full-Report-Kajian-Manufaktur.pdf
hal. 1, diakses pada 8 Desember 2016
[2] Peluang dan Tantangan Indonesia – Pasar Bebas Asean MEA. Warta
Ekspor. Kementerian Perdagangan RI. 2015.
http://aeccenter.kemendag.go.id/media/177687/peluang-dan-tantangan-indonesia-pasar-bebas-asean.pdf hal. 3, diakses pada 8 Desember 2016
[3] A Blueprint for Growth-ASEAN Economic Community 2015 : Progress and Key
Achievements. ASEAN Secretariat. 2015. Jakarta. http://www.asean.org/storage/images/2015/November/aec-page/AEC-2015-Progress-and-Key-Achievements.pdf
hal. 3, diakses pada 8 Desember 2015
[4] ASEAN Economic Community Blueprint. http://asean.org/wp-content/uploads/archive/5187-10.pdf hal. 5, diakses pada 8 Desember
2016
[5] Vijayasari, G.V. The Importance Of International Trade In The
World. International Journal of Marketing, Financial Services &
Management Research. Adhra University, India. 2013. http://indianresearchjournals.com/pdf/IJMFSMR/2013/September/12.pdf diakses pada 8 Desember 2016
[6]
Laffan, Michael. Sejarah Islam di Nusantara. Princeton
University. Bentang Pustaka. Yogyakarta. 2015. Hal. 2
[7] Holt, P.M, Lambton, Ann K.S,
Lewis, Bernard. The Cambridge History of
Islam. Cambridge University Pers. Cambridge.
UK. Hal. 123
[8] Ibid. Hal. 124
[9] Laffan, Michael. Sejarah Islam di Nusantara. Princeton
University. Bentang Pustaka. Yogyakarta. 2015. Hal. 7
[10] Ibid.
[11]
Jetin, Bruno & Mikic,
Mia. ASEAN Economic Community : A Model
For Asia-wide regional integrations?. Palgrave Macmillan. New York. 2016.
Hal. 1
[13] Ibid. Hal. 2
[15] Yusuf, Imtiyaz. The Middle East and Muslim Southeast Asia :
Implications of the Arab Spring. Assumption University. Bangkok. http://www.oxfordislamicstudies.com/Public/focus/essay
1009_southeast_asia.html
diakses pada 13 Desember 2016
No comments:
Post a Comment