3/30/17

Islam Nusantara Sebagai Sebuah Entitas Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN


Perkembangan ekonomi dan hubungan antar negara yang terjadi dewasa ini pada dasarnya menunjukkan bahwa jarak antar negara sekarang ini bukanlah menjadi faktor penghambat dalam melakukan hubungan kerjasama[1]. Sehingga pola ini pun kemudian membuat semakin terbukanya perdagangan antar negara baik bilateral maupun multilateral yang kemudian membentuk sebuah pasar dimana para pelakunya merupakan aktor-aktor internasional, baik negara maupun non-negara. Hal ini kemudian menjadikan keterbukaan ekonomi dan perdagangan bebas antar negara semakin terbuka luas dan memberikan peluang bagi negara untuk meningkatkan akses pasar produk dalam negeri di pasar internasional, namun disisi lain hal ini pun menjadikan tantangan bagi industri dalam negeri terhadap produk impor.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan langkah negara-negara anggota ASEAN sebagai upaya integrasi regional dalam sektor ekonomi untuk memudahkan akses perdagangan antar negara anggota ASEAN, hal ini merupakan salah satu langkah dalam menghadapi perdagangan bebas yang pada dasarnya dirancang untuk menciptakan manfaat bagi anggota-anggotanya untuk dapat bersaing di lingkup global. Tujuan utama MEA sendiri adalah menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, dimana dalam regional tersebut arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil bebas dilakukan antara negara anggota ASEAN [2]. Terbentuknya MEA didasari oleh keinginan negara ASEAN untuk membentuk kerjasama perdagangan yang lebih luas dalam bidang industri, energi, keuangan perbankan, makanan, agrikultur dan kehutanan sebagaimana semua sektor itu dapat diakses jika transportasi dan komunikasi berjalan tanpa hambatan[3]. Seperti yang disepakati oleh para pemimpin ASEAN pada pertemuan tahun 1997 di Kuala Lumpur, bahwa ASEAN harus bertransformasi menjadi organisasi regional yang menciptakan kestabilan, kemakmuran, dan kompetitif dengan pembangunan ekonomi yang merata[4].
Di era Globalisasi ini, setiap Negara tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa melakukan kerjasama perdagangan dengan negara lain, secara sederhananya dengan melakukan liberalisasi perdagangan akan membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang kearah angka yang lebih besar. Dengan liberalisasi perdagangan melalui integrasi ekonomi, secara otomatis akan menurunkan hingga meniadakan hambatan dagang sehingga  membuka peluang bagi pengusaha untuk mendapatkan akses di pasar regional. Maka kemudian, secara bertahap dengan adanya perdagangan internasional akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi, sehingga dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat akan menghasilkan sumber daya keuangan pula yang kemudian dapat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, biaya kesehatan dan pendidikan[5].
Jika menengok sejarah, perkembangan peradaban di Asia Tenggara dipengaruhi pula oleh faktor perdagangan. Menurut Michael Laffan, Sejak abad ke-12 wilayah Asia Tenggara menjadi urat nadi persimpangan dua zona perdagangan kuno yang penting, maka banyak berdiri pelabuhan-pelabuhan yang tersebar dari selat malaka, teluk Thailand, hingga pulau-pulau besar seperti sumatra, jawa, kalimantan hingga maluku dimana antar pelabuhan tersebut telah memiliki jaringan dagang yang saling terhubung. Pelabuhan-pelabuhan tersebut pun digunakan sebagai tempat persinggahan para pelayar muslim dari persia dan gujarat yang sedang melakukan misi perjalanan perdagangan ke Laut Cina Selatan. Di pelabuhan tersebut pun terjadi interaksi perdagangan oleh pedagang muslim dengan penduduk setempat dimana mereka menjadi pemasok rempah-rempah, getah, bulu burung langka, hingga parfum terhadap pedagang asing tersebut [6].
Para pedagang muslim tersebut pun memegang kunci dalam penyebaran islam di wilayah Asia Tenggara, mengingat selat malaka yang menjadi rute utama perdagangan antara asia barat dan asia timur menjadi bagian dari sistem perdagangan kuno internasional pada masa itu. Menurut buku The Cambridge History of Islam  menuliskan bahwa :

“.... In the ports of the Archipelago, already part of this trading system, the Muslim merchant and his goods were as welcome as other traders from India had always been. The conversion of Gujarat and other Indian trading centres to Islam increased the numbers and wealth of the Muslim merchants, so that they came more and more into prominence as the commercial partners and political allies of local rulers, and the Hindus vanished from the seas.[7]

Jika berdasarkan kutipan diatas, maka dapat kita tarik benang merah bahwa pada zaman dahulu ketika laut merupakan jalur utama dalam melakukan perdagangan antar pulau, pelabuhan-pelabuhan di nusantara telah memiliki sistem perdagangan yang saling terhubung. Dimana dipelabuhan-pelabuhan tersebut perekonomian dikuasai oleh pedagang-pedagang muslim terutama para pedagang dari Gujarat (India) yang mendirikan pusat-pusat perdagangan. Kian lama kedatangan para pedagang semakin banyak dan menguasai perdagangan di pelabuhan hingga memiliki pengaruh terhadap politik lokal, seiring berjalannya waktu mulai mengikis pula pengaruh hindu di nusantara.
Lebih lanjut dalam buku The Cambridge History of Islam menjelaskan bahwa perdagangan merupakan faktor paling penting yang menentukan persebaran Islam di kawasan Asia Tenggara. Kawasan Malaka yang pada abad ke-9 hingga ke-15 masehi menjadi pusat dari persebaran islam yang disebarluaskan melalui rute perdagangan hingga ke Brunei, Sulu, hingga maluku [8]. Bahkan bukan hanya pedagang dari Malaka saja yang melakukan misi penyebaran islam melalui jalur perdagangan, namun peran dari pedagang tiongkok pun juga turut serta mendukung proses islamisasi di Asia Tenggara pada abad ke-15 [9]. Bangsa tiongkok dianggap turut berperan dalam penyebaran islam di asia tenggara dengan berhasil masuk jalur pelayaran Arab melalui perdagangan, bahkan keberadaan Patani sebagai sebuah kota muslim adalah merupakan hasil dari kontak antara Tiongkok dan Jawa [10].
ASEAN pada awalnya terbentuk atas dasar politik yang didasari dalam satu kawasan, mulai bertransformasi seiring kebutuhan anggota dan perkembangan zaman. Tahun 1992, ASEAN membentuk AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang bertujuan untuk dapat meningkatkan daya saing antar negara anggota sebagai basis produksi pasar dunia melalui penghapusan bea cukai dalam ASEAN dan dapat menarik investasi asing ke ASEAN[11]. Berangkat dari kerja sama ini, proses integrasi mulai berkisar mengenai ekonomi dan perdagangan, krisis keuangan ASEAN dan kebutuhan negara anggota yang masih membutuhkan pembangunan mendorong ASEAN untuk dapat mewujudkan integrasi, yang kemudian pada 1997 terwujudlah proklamasi ASEAN 2020. Dalam KTT ke-9 tahun 2003, para pemimpin ASEAN menginginkan untuk menciptakan komunitas ASEAN yang dapat teritegrasi dalam segala sektor baik Politik, Keamanan hingga Sosiokultural yang direncanakan dapat dilaksanakan secara penuh pada tahun 2020[12].
Namun, menurut David Martin Jones dalam buku ASEAN Economic Community : A Model For Asia-wide Regional Integrations? Mengatakan bahwa rencana besar untuk integrasi ASEAN yang terwujud dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak akan sepenuhnya terwujud karena sejauh ini sebagian besar konektivitas ASEAN didanai oleh China, baik secara langsung maupun tidak langsung, hal ini kemudian berdampak pada pembangunan infrastruktur baru yang dibangun oleh negara-negara ASEAN diperuntukkan melayani kepentingan China[13]. Belum lagi kemampuan ASEAN dalam memberikan keamanan regional masih terancam oleh dominasi China di Laut China selatan[14].
Jika kita bertolak pada sejarah, dimana perdagangan di kawasan Asia Tenggara dahulu didominasi oleh kaum muslim pendatang yakni Arab dan Gujarat (India) hingga seiring berjalannya waktu mulai menguasai politik lokal. Maka seharusnya dengan kondisi saat ini dengan jumlah muslim di Asia Tenggara mencapai 240 juta Muslim di Asia Tenggara, yang berarti menyumbang 42 persen dari total penduduk Asia Tenggara[15], dapat menguasai perdagangan modern di kawasan ASEAN. namun hari ini yang terjadi jika kita beracuan pada tulisan dari David Martin Jones, dimana dikatakan terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN ini belum sepenuhnya terlaksana karena pembangunan sebagian besar negara ASEAN didanai oleh negara China, maka dalam logika penulis pembangunan tersebut harus memenuhi keinginan sang pemilik modal. Maka dalam hemat penulis saat ini di Asia Tenggara kaum muslim kuat secara jumlah namun lemah secara hegemoni, hal inilah kemudian menimbulkan Anomali bagi penulis, yang menarik untuk diteliti.




[1] Kajian Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas Terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia. Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan. Kementerian Perdagangan RI. 2011. http://www.kemendag.go.id /files/pdf/2014/01/06/Full-Report-Kajian-Manufaktur.pdf  hal. 1, diakses pada 8 Desember 2016
[2] Peluang dan Tantangan Indonesia – Pasar Bebas Asean MEA. Warta Ekspor. Kementerian Perdagangan RI. 2015.  http://aeccenter.kemendag.go.id/media/177687/peluang-dan-tantangan-indonesia-pasar-bebas-asean.pdf hal. 3,  diakses pada 8 Desember 2016
[3] A Blueprint for Growth-ASEAN Economic Community 2015 : Progress and Key Achievements. ASEAN Secretariat. 2015. Jakarta. http://www.asean.org/storage/images/2015/November/aec-page/AEC-2015-Progress-and-Key-Achievements.pdf  hal. 3, diakses pada 8 Desember 2015
[4] ASEAN Economic Community Blueprint. http://asean.org/wp-content/uploads/archive/5187-10.pdf hal. 5, diakses pada 8 Desember 2016
[5] Vijayasari, G.V. The Importance Of International Trade In The World. International Journal of Marketing, Financial Services & Management Research. Adhra University, India. 2013. http://indianresearchjournals.com/pdf/IJMFSMR/2013/September/12.pdf diakses pada 8 Desember 2016
[6] Laffan, Michael. Sejarah Islam di Nusantara. Princeton University. Bentang Pustaka. Yogyakarta. 2015. Hal. 2
[7] Holt, P.M, Lambton, Ann K.S, Lewis, Bernard. The Cambridge History of Islam. Cambridge University Pers. Cambridge. UK. Hal. 123
[8] Ibid. Hal. 124
[9] Laffan, Michael. Sejarah Islam di Nusantara. Princeton University. Bentang Pustaka. Yogyakarta. 2015. Hal. 7
[10] Ibid.
[11] Jetin, Bruno & Mikic, Mia. ASEAN Economic Community : A Model For Asia-wide regional integrations?. Palgrave Macmillan. New York. 2016. Hal. 1
[12] Ibid.
[13] Ibid. Hal. 2
[14] Ibid.
[15] Yusuf, Imtiyaz. The Middle East and Muslim Southeast Asia : Implications of the Arab Spring. Assumption University. Bangkok. http://www.oxfordislamicstudies.com/Public/focus/essay 1009_southeast_asia.html diakses pada 13 Desember 2016

No comments:

Post a Comment