3/30/17

Koh Ahok dan Surat Al-Maidah



Terlepas dari semua kontroversi yang ada antara Ahok, Surat al-maidah ayat 51 dan gugatan baliknya kepada penyebar video tersebiut, memang seharusnya ahok tidak menggunakan dasar ayat suci al-qur’an dalam pidatonya tersebut. sebagai satu-satunya calon non-muslim dalam pilgub DKI, isu SARA merupakan isu yang paling sensitif sekaligus strategis untuk diolah. Dalam kacamata saya sebagai seorang muslim, bagaimanapun seorang Ahok tetaplah salah dengan segala pembelaannya, seorang ahok tidaklah memiliki kapasitas sebagai ahli Al-Qur’an ataupun hadist yang shahih dalam menafsirkan makna dari pada ayat-ayat tersebut, ditambah lagi koh ahok bukanlah seorang muslim, ya otomatis hujatan, cacian, makian akan tertuju ke koh ahok yang notabene dianggap sembarangan dengan surat al-qur’an.
Walaupun tanpa repot-repot berpidato di kepulauan seribu dan menyinggung surat al-maidah, tetap saja akan banyak orang nyinyir kafir, dzholim, antek wahyudi, c*na dan lain sebagainya. Nah ini ditambah pake nyatut surat al-maidah lagi, gimana ndak tambah digunjing koh ahok? Kalau kata temen saya yang jurusan politik ini namanya blunder politik, artinya koh ahok yang sekarang ini menjadi calon gubernur petahana kurang berhati-hati dalam mencitrakan dirinya sehingga kekurang hati-hatiannya tersebut dijadikan bola panas untuk menyerang koh ahok. Bagaimana tidak? Dalam pidato tersebut beliau berusaha mencitrakan diri sebagai seorang yang tidak akan mempermasalahkan agama dengan menyinggung oknum-oknum yang jualan ayat, namun malah membuat kesalahan fatal dengan mencatut salah satu surat didalam al-qur’an, gimana ndak blunder kalau kayak gitu? Apalagi koh ahok seorang nasrani pula, Ya setitik nila rusak susu sebelanga jadinya. Mungkin beliau maksudnya baik, menjadi seorang pemimpin yang profesional, adil, tanpa memandang agama apapun, atau mungkin malah sedang kebakaran jenggot karena cagub satunya sedang bertauhid untuk jakarta? *eh. Menanggapi kasus ini pun seharusnya beliau tidak perlu melawan, karena didepan publik ditambah dengan framing media, menjadi orang yang tertindas akan lebih banyak diuntungkan daripada melawan. Apalagi yang dihadapi ini bukan warga miskin yang akan sammina wa’ato’na ketika beliau mengeluarkan bahasa-bahasa khasnya, paling tidak koh ahok harus bisa bermain cantik lah, jangan pakai cara kasar dalam menanggapi isu ini. tidak perlu advokat kotak-kotaknya turun gunung semua dan melaporkan balik si penyebar video, karena respon yang diterima publik pada akhirnya akan beda, dan cenderung memandang beliau menjadi maha benar dengan segala perbuatannya.

Koh ahok merupakan sosok yang sangat unik, jika dulu mungkin beliau ini ibarat nabi pada zaman jahiliyah yang membawa cahaya pencerahan bagi umat jakarta. Kedatangan koh ahok memberikan warna baru dalam konteks pemimpin daerah yang selalu monoton dengan sikap wibawa, tenang, arif, santun mereka. Beliau ini tampil dengan gayanya sendiri dengan pembawaan yang ceplas ceplos, emosional, tegas dan tak segan turun lapangan, ngeri lah pokoknya kalo berhadapan dengan koh ahok ini. Tetapi secara pribadi saya mengacungi jempol dengan kinerja koh ahok menjadi gubernur jakarta selama ini, watak keras beliau ditambah dengan otak cerdasnya dalam mengelola birokrasi membuat jakarta sekarang ini kontras dengan yang dulu, karena memang hari ini dibutuhkan orang-orang yang seperti beliau ini di endonesa. Mungkin hanya perlu modifikasi sedikit lagi agar dapat diterima masyarakat luas. Ya beruntunglah PDI yang berhasil mengusung koh ahok ini, paling enggak elektabilitasnya naik lagi sekaligus untuk pemanasan mesin 2019. Dengan adanya koh ahok di tubuh PDI semakin menambah pula koleksi-koleksi Bu Mega dengan adanya beberapa tokoh yang brilian ditubuh PDI, setelah ada Bu Risma, Pak Ganjar, dan Pak Jokowi. Lihatlah, betapa baiknya Tuhan kepada Bu Mega dengan memberikan tokoh-tokoh revolusioner ditubuh PDI. Ahh.. sudahlah ini hanya gurauan mahasiswa yang sedang sepaneng mengerjakan skripsi, jangan dianggap serius. ehe

China Sebagai Kekuatan Baru di Asia Tengah dalam Ekspansi Energi Melalui Strategi Silk Road Economic Belt

                                      Sumber foto : http://www.iranreview.org/file/cms/files/Silk-Road.jpg

Isu minyak dan gas bukan hanya menjadi penting, namun juga menarik untuk dibahas mengingat bahwa jika terjadi krisis minyak mengakibatkan tersendatnya laju perekonomian. Hal ini kemudian akan memicu terjadinya perebutan sumber-sumber ladang minyak dan gas yang dilakukan oleh negara-negara berbasis industrialis. Perebutan sumber daya alam tersebut merupakan awal dari timbulnya konflik yang terjadi dalam berbagai dimensi dan skala. Roda perekonomian akan tersendat, Negara industrialis akan menghegemoni sumber daya minyak dan gas di negara lain yang memiliki cadangan besar, yang akhirnya akan menimbulkan dampak interdependensi (saling ketergantungan) antar kedua aktor tersebut dalam lingkaran minyak dan gas[2].
Negara-negara industrialis besar yang membutuhkan energi gas dan minyak namun tidak memiliki sumber daya alam yang cukup didalam negaranya sendiri menjadikan suatu dilema, hal inilah yang kemudian membuat negara-negara seperti China melakukan eksplorasi ke negara lain untuk kelangsungan industrinya. Sebagai contoh China yang hari ini menjadi konsumen petroleum terbesar pertama yang telah mengalahkan Amerika Serikat melakukan ekspansi minyak dan gas ke negara-negara Asia Tengah[3]. Menurut data yang penulis peroleh, pada tahun 2013 China menyumbang 22,4% dari total energi yang dikonsumsi dunia. Hal ini  lebih besar dibandingkan Amerika Serikat yang menyumbang 17,8%, atau juga berarti akumulasi dari kedua negara tersebut sudah menyumbang 40% dari total energi yang dikonsumsi seluruh dunia[4]. Sederhananya tingkat pembangunan negara China berbanding lurus dengan konsumsi energi yang tinggi, sehingga berdampak pada cepat lambatnya laju ekonomi dalam ekspor, industri dan urbanisasi.
Maka, jika kemudian krisis energi terjadi pada skala negara tidaklah cukup bagi negara tersebut untuk dapat menanggulangi krisis yang terjadi hanya dengan menggantungkan pada sumber daya alam dari dalam negeri sendiri. Mengingat di era globalisasi ini kondisi antar negara, terutama yang memiliki kedekatan secara geografis, tidak menutup kemungkinan dapat mempengaruhi proses politik dan ekonomi antar negara-negara tersebut.
Selama satu dekade terakhir China secara agresif menggalang kerja sama energi dengan kawasan Asia Tengah yang notabene memiliki simpanan minyak dan gas alam terbesar di dunia disamping memiliki kondisi politik internal kawasan yang stabil[7]. China menjadi aktor pendatang di jazirah Asia Tengah setelah lama dibawah cengkeraman Rusia yang telah membangun kerjasama sejak 1960, dan kemudian kini China memiliki pengaruh besar dikawasan Asia Tengah yang mulai menggeser keberadaan Rusia[8]. Selain itu dalam hubungan kerjasama ini antara China dan Asia Tengah muncul sebuah ketergantungan antar kedua aktor, China ketergantungan dengan Energi dari Asia Tengah, begitupun Asia Tengah yang mulai ketergantungan dengan keberadaan China di kawasan tersebut yang kemudian menggeser posisi Rusia yang telah lama menjadi dominan power. Karena Asia tengah, terutama Kazakhstan dan Turkmenistan telah lama menjadi ladang Gas bagi Rusia untuk kemudian di jual ke Uni Eropa yang selama ini menggantungkan pipa-pipa gas dan minyak dari Rusia.
Kedatangan China di Asia Tengah pada dasarnya tidak jauh-jauh dari kerjasama minyak dan gas, mengingat negara-negara Asia Tengah memiliki cadangan minyak dan gas yang melimpah ruah dan masih sedikit investornya. Inilah yang kemudian menjadi Anomali dimana telah kita ketahui bahwasannya Kazakhstan, Turkmenistan, Kirgiztan, Tajikistan dan Uzbekistan adalah negara pecahan dari Uni Soviet yang secara identitas memiliki kedekatan dengan Rusia, namun dewasa ini posisi Rusia di Asia Tengah semakin pudar dan mulai digantikan dengan keberadaan China. Bahkan pada tahun 2013 dalam kunjungannya di Nazarbayev University , Kazakhstan. Presiden Xi Jin Ping menekankan dalam pidatonya mengenai pentingnya membangun kerjasama ekonomi antara China dan seluruh negara Asia Tengah.[9] Dalam pidatonya tersebut Presiden Xi Jin Ping berusaha untuk membawa romantisme masa lalu dimana jalur sutra kuno menjadi satu-satunya jalur darat yang menghubungkan Asia dan Eropa menciptakan sebuah hubungan dagang dan budaya masyarakat zaman dahulu. Dan situasi ini harus dibangun kembali agar dapat tercipta sebuah kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Xi Jin Ping memberikan istilah Silk Road Economic Belt atau Sabuk Ekonomi Jalur Sutra dalam kerjasama ekonomi ini, Ia menegaskan bahwa dalam kerjasama Ekonomi tersebut merupakan kerjasama persahabatan untuk saling membangun dan menjalin hubungan baik antar negara tetangga.[10] China tidak akan pernah ikut campur urusan internal negara ataupun urusan internal kawasan di Asia Tengah, karena hal ini merupakan masalah internal yang bukan wewenang China untuk ikut campur. Karena bagi negara China, yang menjadi musuh bersama dan harus diperangi adalah isu terorisme, ekstrimisme, dan separatisme.[11]
Dari hal ini kita dapat melihat begitu pentingnya posisi negara-negara Asia Tengah hingga menjadi proyeksi politik luar negeri China yang kemudian dituangkan oleh Pesiden Xi Jin Ping melalui kerjasama Ekonomi yang disebut Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economic Belt). Dalam jalinan kerjasama tersebut China berusaha melakukan pendekatan kerjasama ekonomi sebagai negara tetangga yang tidak ingin ikut campur dengan urusan internal negara maupun kawasan. Karena bagi China kawasan Asia Tengah bukan hanya negara tetangga yang memiliki kedekatan secara geografis, ekonomi, keamanan dan politik, melainkan juga sebagai penghubung darat ke negara-negara Timur Tengah dan Eropa melalui pembangunan infrastruktur. Begitupun bagi Asia Tengah, China merupakan potensi pasar yang besar dalam mempromosikan sumber daya alam negara-negara Asia Tengah terutama sumber daya energi yang dimilikinya.
Asia Tengah merupakan kawasan landlocked country dimana seluruh negaranya tidak memiliki laut[12]. Namun kaya dengan sumber daya energi dan sangat beragam, Asia Tengah memiliki cadangan minyak, gas, batubara di masing-masing negara anggotanya[13]. Terdapat 5 negara yang berada di kawasan Asia Tengah yakni Kazakhstan, Kyrgyztan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Potensi minyak, gas dan batubara banyak terdapat di Kazakhstan, Turkmenistan dan Uzbekistan. Sedangkan Tajikistan dan Kyrgyztan memiliki potensi energi tenaga air yang dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik.
 Setidaknya Asia Tengah memiliki cadangan sekitar 31 milyar barel atau menyediakan sekitar 2,7% dari total cadangan minyak dunia[14]. Sedangkan untuk gas alam sekitar 11 hingga 12 trilyun meter kubik atau sekitar 7% dari seluruh cadangan gas alam dunia[15]. Dan diperkirakan masih akan bertambah hingga 60 Milyar-140 Milyar dimasa mendatang seiring bertambahnya eksplorasi dikawasan tersebut. Cadangan energi yang cukup besar tersebut didukung oleh kondisi politik negara-negara anggota yang cukup stabil membuat kawasan Asia Tengah banyak dilirik oleh negara-negara industrialis yang tengah melakukan ekspansi energi, tak terkecuali China.
China National Petroleum Corporation (CNPC), China Petroleum & Chemical Corporation (Sinopec) dan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) merupakan perusahaan minyak nasional China yang bertanggung jawab terhadap stabilitas pasokan energi negara[16]. Perusahaan minyak raksasa tersebut telah berekspansi sekaligus berinvestasi dibeberapa negara seperti Asia Tengah, Afrika dan Brasil. Dalam ekspansinya perusahaan tersebut tidak hanya melakukan tugasnya untuk mengamankan pasokan energi China, melainkan juga memiliki tanggung jawab untuk membangun infrastruktur hingga pemberian pinjaman untuk pengenbangan dan pembangunan negara[17]. Selain itu pemerintah China menawarkan pinjaman untuk eksplorasi dan produksi kegiatan dan sebagai imbalannya adalah jaminan pengiriman minyak secara berkelanjutan. Dan sebaliknya melalui perusahaan minyaknya juga membantu pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan pengaruh strategis di seluruh dunia.
Salah satu organisasi inisiasi China yang berperan penting dalam kerjasama energi adalah Organisasi Kerjasama Shanghai atau dikenal dengan Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang menjadi strategi China untuk melegitimasi kepentingannya di kawasan Asia Tengah, seperti halnya NATO yang digunakan Amerika untuk kepentingannya di Eropa. dengan adanya SCO maka memungkinkan pula China membangun Soft Power dengan negara-negara yang masuk menjadi bagian, baik dalam kerjasama keamanan, ekonomi, politik hingga bud
aya.




[1] Rahman, Maizar. 2004. Oil and Gas : The Engine of the World Economy. http://www.opec.org/opec_web/en/900.htm
[2]
[3] Fazilov, Fakhmiddin. 2014. China’s Energy Security Strategy In Central Asia. http://Chinaincentralasia.com/2014/11/27/Chinas-energy-security-strategy-in-central-asia/
[7]
[8]
[9] President Xi Jinping Delivers Important Speech and Proposes to Build a Silk Road Economic Belt with Central Asian Countries. Ministry of Foreign Affairs, the People's Republic of China. http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/topics_665678/xjpfwzysiesgjtfhshzzfh_665686/t1076334.shtml
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[13] Central Asia Energy-Water Development Program. http://www.worldbank.org/en/region/eca/brief/caewdp
[14] Jaffe, Amy Myers. Unlocking The Assets: Energy And The Future Of Central Asia And The Caucasus. James A. Baker III Institute For Public Policy.
[15] Ibid.
[16]Chinese inroads into Central Asia: Focus on oil and gas. http://www.siew.sg/topics/chinese-inroads-into-central-asia-focus-on-oil-and-gas
[17]Ibid.

Islam Nusantara Sebagai Sebuah Entitas Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN


Perkembangan ekonomi dan hubungan antar negara yang terjadi dewasa ini pada dasarnya menunjukkan bahwa jarak antar negara sekarang ini bukanlah menjadi faktor penghambat dalam melakukan hubungan kerjasama[1]. Sehingga pola ini pun kemudian membuat semakin terbukanya perdagangan antar negara baik bilateral maupun multilateral yang kemudian membentuk sebuah pasar dimana para pelakunya merupakan aktor-aktor internasional, baik negara maupun non-negara. Hal ini kemudian menjadikan keterbukaan ekonomi dan perdagangan bebas antar negara semakin terbuka luas dan memberikan peluang bagi negara untuk meningkatkan akses pasar produk dalam negeri di pasar internasional, namun disisi lain hal ini pun menjadikan tantangan bagi industri dalam negeri terhadap produk impor.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan langkah negara-negara anggota ASEAN sebagai upaya integrasi regional dalam sektor ekonomi untuk memudahkan akses perdagangan antar negara anggota ASEAN, hal ini merupakan salah satu langkah dalam menghadapi perdagangan bebas yang pada dasarnya dirancang untuk menciptakan manfaat bagi anggota-anggotanya untuk dapat bersaing di lingkup global. Tujuan utama MEA sendiri adalah menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, dimana dalam regional tersebut arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil bebas dilakukan antara negara anggota ASEAN [2]. Terbentuknya MEA didasari oleh keinginan negara ASEAN untuk membentuk kerjasama perdagangan yang lebih luas dalam bidang industri, energi, keuangan perbankan, makanan, agrikultur dan kehutanan sebagaimana semua sektor itu dapat diakses jika transportasi dan komunikasi berjalan tanpa hambatan[3]. Seperti yang disepakati oleh para pemimpin ASEAN pada pertemuan tahun 1997 di Kuala Lumpur, bahwa ASEAN harus bertransformasi menjadi organisasi regional yang menciptakan kestabilan, kemakmuran, dan kompetitif dengan pembangunan ekonomi yang merata[4].
Di era Globalisasi ini, setiap Negara tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa melakukan kerjasama perdagangan dengan negara lain, secara sederhananya dengan melakukan liberalisasi perdagangan akan membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang kearah angka yang lebih besar. Dengan liberalisasi perdagangan melalui integrasi ekonomi, secara otomatis akan menurunkan hingga meniadakan hambatan dagang sehingga  membuka peluang bagi pengusaha untuk mendapatkan akses di pasar regional. Maka kemudian, secara bertahap dengan adanya perdagangan internasional akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi, sehingga dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat akan menghasilkan sumber daya keuangan pula yang kemudian dapat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, biaya kesehatan dan pendidikan[5].
Jika menengok sejarah, perkembangan peradaban di Asia Tenggara dipengaruhi pula oleh faktor perdagangan. Menurut Michael Laffan, Sejak abad ke-12 wilayah Asia Tenggara menjadi urat nadi persimpangan dua zona perdagangan kuno yang penting, maka banyak berdiri pelabuhan-pelabuhan yang tersebar dari selat malaka, teluk Thailand, hingga pulau-pulau besar seperti sumatra, jawa, kalimantan hingga maluku dimana antar pelabuhan tersebut telah memiliki jaringan dagang yang saling terhubung. Pelabuhan-pelabuhan tersebut pun digunakan sebagai tempat persinggahan para pelayar muslim dari persia dan gujarat yang sedang melakukan misi perjalanan perdagangan ke Laut Cina Selatan. Di pelabuhan tersebut pun terjadi interaksi perdagangan oleh pedagang muslim dengan penduduk setempat dimana mereka menjadi pemasok rempah-rempah, getah, bulu burung langka, hingga parfum terhadap pedagang asing tersebut [6].
Para pedagang muslim tersebut pun memegang kunci dalam penyebaran islam di wilayah Asia Tenggara, mengingat selat malaka yang menjadi rute utama perdagangan antara asia barat dan asia timur menjadi bagian dari sistem perdagangan kuno internasional pada masa itu. Menurut buku The Cambridge History of Islam  menuliskan bahwa :

“.... In the ports of the Archipelago, already part of this trading system, the Muslim merchant and his goods were as welcome as other traders from India had always been. The conversion of Gujarat and other Indian trading centres to Islam increased the numbers and wealth of the Muslim merchants, so that they came more and more into prominence as the commercial partners and political allies of local rulers, and the Hindus vanished from the seas.[7]

Jika berdasarkan kutipan diatas, maka dapat kita tarik benang merah bahwa pada zaman dahulu ketika laut merupakan jalur utama dalam melakukan perdagangan antar pulau, pelabuhan-pelabuhan di nusantara telah memiliki sistem perdagangan yang saling terhubung. Dimana dipelabuhan-pelabuhan tersebut perekonomian dikuasai oleh pedagang-pedagang muslim terutama para pedagang dari Gujarat (India) yang mendirikan pusat-pusat perdagangan. Kian lama kedatangan para pedagang semakin banyak dan menguasai perdagangan di pelabuhan hingga memiliki pengaruh terhadap politik lokal, seiring berjalannya waktu mulai mengikis pula pengaruh hindu di nusantara.
Lebih lanjut dalam buku The Cambridge History of Islam menjelaskan bahwa perdagangan merupakan faktor paling penting yang menentukan persebaran Islam di kawasan Asia Tenggara. Kawasan Malaka yang pada abad ke-9 hingga ke-15 masehi menjadi pusat dari persebaran islam yang disebarluaskan melalui rute perdagangan hingga ke Brunei, Sulu, hingga maluku [8]. Bahkan bukan hanya pedagang dari Malaka saja yang melakukan misi penyebaran islam melalui jalur perdagangan, namun peran dari pedagang tiongkok pun juga turut serta mendukung proses islamisasi di Asia Tenggara pada abad ke-15 [9]. Bangsa tiongkok dianggap turut berperan dalam penyebaran islam di asia tenggara dengan berhasil masuk jalur pelayaran Arab melalui perdagangan, bahkan keberadaan Patani sebagai sebuah kota muslim adalah merupakan hasil dari kontak antara Tiongkok dan Jawa [10].
ASEAN pada awalnya terbentuk atas dasar politik yang didasari dalam satu kawasan, mulai bertransformasi seiring kebutuhan anggota dan perkembangan zaman. Tahun 1992, ASEAN membentuk AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang bertujuan untuk dapat meningkatkan daya saing antar negara anggota sebagai basis produksi pasar dunia melalui penghapusan bea cukai dalam ASEAN dan dapat menarik investasi asing ke ASEAN[11]. Berangkat dari kerja sama ini, proses integrasi mulai berkisar mengenai ekonomi dan perdagangan, krisis keuangan ASEAN dan kebutuhan negara anggota yang masih membutuhkan pembangunan mendorong ASEAN untuk dapat mewujudkan integrasi, yang kemudian pada 1997 terwujudlah proklamasi ASEAN 2020. Dalam KTT ke-9 tahun 2003, para pemimpin ASEAN menginginkan untuk menciptakan komunitas ASEAN yang dapat teritegrasi dalam segala sektor baik Politik, Keamanan hingga Sosiokultural yang direncanakan dapat dilaksanakan secara penuh pada tahun 2020[12].
Namun, menurut David Martin Jones dalam buku ASEAN Economic Community : A Model For Asia-wide Regional Integrations? Mengatakan bahwa rencana besar untuk integrasi ASEAN yang terwujud dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak akan sepenuhnya terwujud karena sejauh ini sebagian besar konektivitas ASEAN didanai oleh China, baik secara langsung maupun tidak langsung, hal ini kemudian berdampak pada pembangunan infrastruktur baru yang dibangun oleh negara-negara ASEAN diperuntukkan melayani kepentingan China[13]. Belum lagi kemampuan ASEAN dalam memberikan keamanan regional masih terancam oleh dominasi China di Laut China selatan[14].
Jika kita bertolak pada sejarah, dimana perdagangan di kawasan Asia Tenggara dahulu didominasi oleh kaum muslim pendatang yakni Arab dan Gujarat (India) hingga seiring berjalannya waktu mulai menguasai politik lokal. Maka seharusnya dengan kondisi saat ini dengan jumlah muslim di Asia Tenggara mencapai 240 juta Muslim di Asia Tenggara, yang berarti menyumbang 42 persen dari total penduduk Asia Tenggara[15], dapat menguasai perdagangan modern di kawasan ASEAN. namun hari ini yang terjadi jika kita beracuan pada tulisan dari David Martin Jones, dimana dikatakan terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN ini belum sepenuhnya terlaksana karena pembangunan sebagian besar negara ASEAN didanai oleh negara China, maka dalam logika penulis pembangunan tersebut harus memenuhi keinginan sang pemilik modal. Maka dalam hemat penulis saat ini di Asia Tenggara kaum muslim kuat secara jumlah namun lemah secara hegemoni, hal inilah kemudian menimbulkan Anomali bagi penulis, yang menarik untuk diteliti.




[1] Kajian Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas Terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia. Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan. Kementerian Perdagangan RI. 2011. http://www.kemendag.go.id /files/pdf/2014/01/06/Full-Report-Kajian-Manufaktur.pdf  hal. 1, diakses pada 8 Desember 2016
[2] Peluang dan Tantangan Indonesia – Pasar Bebas Asean MEA. Warta Ekspor. Kementerian Perdagangan RI. 2015.  http://aeccenter.kemendag.go.id/media/177687/peluang-dan-tantangan-indonesia-pasar-bebas-asean.pdf hal. 3,  diakses pada 8 Desember 2016
[3] A Blueprint for Growth-ASEAN Economic Community 2015 : Progress and Key Achievements. ASEAN Secretariat. 2015. Jakarta. http://www.asean.org/storage/images/2015/November/aec-page/AEC-2015-Progress-and-Key-Achievements.pdf  hal. 3, diakses pada 8 Desember 2015
[4] ASEAN Economic Community Blueprint. http://asean.org/wp-content/uploads/archive/5187-10.pdf hal. 5, diakses pada 8 Desember 2016
[5] Vijayasari, G.V. The Importance Of International Trade In The World. International Journal of Marketing, Financial Services & Management Research. Adhra University, India. 2013. http://indianresearchjournals.com/pdf/IJMFSMR/2013/September/12.pdf diakses pada 8 Desember 2016
[6] Laffan, Michael. Sejarah Islam di Nusantara. Princeton University. Bentang Pustaka. Yogyakarta. 2015. Hal. 2
[7] Holt, P.M, Lambton, Ann K.S, Lewis, Bernard. The Cambridge History of Islam. Cambridge University Pers. Cambridge. UK. Hal. 123
[8] Ibid. Hal. 124
[9] Laffan, Michael. Sejarah Islam di Nusantara. Princeton University. Bentang Pustaka. Yogyakarta. 2015. Hal. 7
[10] Ibid.
[11] Jetin, Bruno & Mikic, Mia. ASEAN Economic Community : A Model For Asia-wide regional integrations?. Palgrave Macmillan. New York. 2016. Hal. 1
[12] Ibid.
[13] Ibid. Hal. 2
[14] Ibid.
[15] Yusuf, Imtiyaz. The Middle East and Muslim Southeast Asia : Implications of the Arab Spring. Assumption University. Bangkok. http://www.oxfordislamicstudies.com/Public/focus/essay 1009_southeast_asia.html diakses pada 13 Desember 2016